Dalam fikih Islam, najis dikategorikan menjadi tiga jenis: Mukhaffafah (ringan), Mutawassithah (sedang), dan Mughalladhah (berat). Najis anjing dan babi masuk ke dalam kategori mughalladhah yang memerlukan penanganan khusus.
Landasan Hukum Najis Anjing
Kenajisan anjing bersumber dari hadits Rasulullah ﷺ:
طُهُوْرُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
"Sucinya wadah salah satu di antara kalian ketika dijilat anjing adalah dengan cara dicuci sebanyak tujuh kali, salah satunya dicampuri dengan debu." (HR. Muslim & Ahmad).
Berdasarkan hadits ini, Mazhab Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa seluruh bagian tubuh anjing—baik air liur, bulu, kulit, hingga kotorannya—adalah najis berat. Logikanya, jika bagian mulut yang dianggap paling bersih saja najis, maka bagian tubuh lainnya tentu lebih utama dianggap najis (qiyas aulawiy).
Bolehkah Debu Diganti dengan Sabun?
Persoalan mengenai relevansi sabun sebagai pengganti debu dalam konteks hadis tersebut telah dikaji secara mendalam oleh sejumlah ulama terkemuka. Referensi mengenai hal ini dapat ditemukan dalam karya-karya seperti Al-Mahalli karya Syekh Jalaluddin al-Mahalli, Tuhfatul Habib karya Syekh Ahmad al-Hijâzi, serta Kifayatul Akhyar susunan Syekh Taqiyuddin Abu Bakar. Selain itu, Imam Nawawi dalam Raudhatuth Thâlibîn dan Syekh Abdul Karim ar-Râfi’I dalam Fathul Aziz membagi pendapat menjadi tiga pandangan utama:
Pendapat Pertama: Tidak Bisa Menggantikan (Pendapat Al-Adh-har)
Ini adalah pendapat yang paling kuat dalam Mazhab Syafi'i. Alasannya:
Tekstual: Hadits secara spesifik menyebutkan debu.
Unsur Ibadah: Debu adalah alat bersuci yang ditetapkan syara' (seperti dalam tayamum). Sebagaimana tayamum tidak sah dengan tepung atau pasir, maka menyucikan najis berat pun harus dengan debu.
Pendapat Kedua: Bisa Menggantikan (Pendapat Dhahir)
Pendapat ini memperbolehkan sabun atau pembersih kimia lainnya menggantikan debu dengan alasan fungsi (analogi):
Analogi Menyamak Kulit: Saat menyamak kulit bangkai, penggunaan bahan pembersih tidak harus tawas, bisa diganti dengan bahan kimia lain yang penting bersih.
Analogi Istinja: Meskipun hadits menyebutkan batu, ulama sepakat penggunaan tisu atau benda kesat lainnya diperbolehkan. Maka, sabun dianggap memiliki fungsi pembersih yang lebih kuat dari debu.
Pendapat Ketiga: Kondisi Darurat atau Sesuai Media
Pendapat ini merupakan jalan tengah:
Faktor Darurat: Sabun boleh digunakan jika debu tidak ditemukan (misalnya di apartemen perkotaan yang sulit akses tanah).
Faktor Objek: Jika penggunaan debu justru merusak benda tersebut (seperti pakaian mahal), maka sabun boleh digunakan. Namun untuk benda yang tidak mudah rusak (seperti piring), tetap wajib menggunakan debu.
Syekh Abdul Karim bin Muhammad ar-Râfi’i menjelaskan dalam kitabnya:
هل يقوم الصابون والاشنان مقام التراب فيه ثلاثة أقوال أظهرها لا: لظاهر الخبر ولانها طهارة متعلقة فلا يقوم غيره مقامه كالتيمم والثاني نعم كالدباغ يقوم فيه غير الشب والقرظ مقامهما وكالاستنجاء يقوم فيه غير الحجارة مقامها. الثالث أن وجد التراب لم يعدل إلى غيره وان لم يجده جاز اقامة غيره مقامه للضرورة ومنهم من قال يجوز اقامة غير
"Apakah
Secara ideal, kita sebaiknya tetap menggunakan debu karena merupakan pendapat yang paling kuat (Al-Adh-har). Namun, dalam kondisi sulit atau jika dikhawatirkan merusak barang, mengikuti pendapat kedua (Dhahir) yang memperbolehkan sabun masih dalam batas toleransi yang diperkenankan oleh para ulama.

0Komentar