Belakangan ini, publik dihebohkan dengan salah satu tayangan Trans7 yang menjadi viral dan menuai perdebatan luas. Banyak pihak menilai tayangan tersebut salah arah, bahkan dianggap menyinggung kalangan pesantren dan kiai. Namun, di balik kontroversi itu, ada hal yang lebih penting untuk kita cermati: cara masyarakat kita menyikapi kegaduhan dan kritik.

Saya pribadi merasa cukup miris. Setiap kali muncul keributan di ruang publik, penyelesaiannya hampir selalu berujung pada transaksi sentimen bukan pada dialog atau pemikiran yang jernih. Emosi dan perasaan menjadi dasar utama, menggantikan nalar dan substansi.

Kalau kita lihat dari sisi lain, sebenarnya apa yang dilakukan oleh Trans7 bisa saja dimaknai sebagai bentuk kritik terhadap sebuah tradisi. Sayangnya, cara penyampaiannya justru terjebak dalam subjektivitas. Alih-alih mengkritik sistem feodalisme atau struktur sosial yang ingin dikoreksi, tayangan itu malah menyinggung kehidupan kiai, santri, dan pesantren bahkan disebut-sebut mengarah kepada sosok yang sangat dihormati di dunia pesantren. Di titik inilah masalahnya menjadi sensitif dan mudah memicu amarah.

Padahal, kehidupan pesantren memiliki sakralitas tersendiri. Ada nilai-nilai luhur yang dijaga dengan penuh hormat. Namun di sisi lain, glorifikasi yang berlebihan terhadap kiai dan sistem pesantren juga bisa berbahaya. Ketika sebuah lembaga atau sosok dianggap suci dan bebas dari kritik, maka yang muncul adalah kejumudan stagnasi dalam berpikir dan berbenah.

Kritik sejatinya bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk memperbaiki. Jika kritik dilarang hanya karena dianggap “tidak sopan” atau “menyentuh yang sakral”, maka pesantren (atau lembaga apa pun) berisiko kehilangan daya untuk berintrospeksi.

Menariknya, kalau kita mau jujur, sebagian dari apa yang disampaikan Trans7 sebenarnya tidak sepenuhnya keliru. Memang ada oknum kiai yang hidup berlebihan memakai sarung mahal, tampil glamor, atau bahkan memperlakukan santrinya secara tidak adil. Itu fakta yang tidak bisa dipungkiri. Tapi tentu saja, hal itu tidak bisa digeneralisasi; banyak kiai dan pesantren yang justru hidup sederhana dan tulus mengabdi.

Masalahnya, karena perdebatan publik lebih mengedepankan emosi dan sentimen, substansi kritiknya justru kabur. Bukannya menjadi bahan introspeksi bersama, kritik itu malah berujung pada saling serang di media sosial. Akibatnya, yang tersisa hanya kebisingan, bukan perbaikan.

Akan jauh lebih elegan jika setiap kegaduhan seperti ini disikapi dengan kepala dingin dan cara yang beradab. Jangan biarkan ruang publik kita terus dijejali potongan-potongan video pendek yang hanya memancing emosi, tanpa memberi ruang berpikir. Karena kalau cara ini terus dibiarkan, kemungkinan masalah kita benar-benar selesai akan sangat kecil.

Bagi saya, gelombang kritik yang belakangan ini mengarah pada pondok pesantren dan kehidupan di dalamnya, terutama soal isu feodalisme justru seharusnya menjadi momentum untuk berbenah. Kritik, bila dihadapi dengan kepala dingin dan semangat positif, dapat menjadi cermin untuk memperkuat nilai dan sistem yang sudah ada. Saya percaya, para insan pesantren adalah pribadi terpilih yang telah matang secara spiritual dan intelektual. Karena itu, merespons kritik dengan bijak dan terbuka bukanlah hal yang sulit bagi mereka, justru di sanalah kemuliaan pesantren akan semakin tampak.