Pertanyaan

Makmum muwafiq (yang terlambat mengikuti imam dari awal) dan memiliki waktu cukup membaca salah satu antara doa iftitah atau surat setelah al-Fatiḥah. Manakah yang lebih utama dalam membacanya?

Jawaban Ringkas

Yang lebih utama adalah membaca surat setelah al-Fatiḥah, bukan doa iftitah. Penjelasan: Membaca al-Fatiḥah adalah rukun shalat, tidak boleh ditinggalkan. Membaca surat setelah al-Fatiḥah hukumnya sunnah .

Penjelasan

Membaca doa iftitah juga sunnah dalam kitab Al Majmu' Syarah Muhaddzab 318 jilid 3 sebagai berikut:

 أَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَيُسْتَحَبُّ لِكُلِّ مُصَلٍّ مِنْ إمَامٍ وَمَأْمُومٍ وَمُنْفَرِدٍ وَامْرَأَةٍ وَصَبِيٍّ وَمُسَافِرٍ وَمُفْتَرِضٍ وَمُتَنَفِّلٍ وَقَاعِدٍ وَمُضْطَجِعٍ وَغَيْرِهِمْ أَنْ يَأْتِيَ بِدُعَاءِ الِاسْتِفْتَاحِ عَقِبَ تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ فَلَوْ تَرَكَهُ سَهْوًا أَوْ عَمْدًا حَتَّى شَرَعَ فِي التَّعَوُّذِ لَمْ يَعُدْ إلَيْهِ لِفَوَاتِ مَحَلِّهِ وَلَا يَتَدَارَكُهُ فِي بَاقِي الرَّكَعَاتِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ

Adapun hukum masalah ini (yaitu doa istiftah), maka disunnahkan bagi setiap orang yang salat, baik imam, makmum, maupun orang yang salat sendirian, begitu juga wanita, anak kecil, musafir, orang yang menunaikan salat fardu maupun salat sunnah, orang yang salat dalam keadaan duduk, berbaring, dan selain mereka, agar membaca doa istiftah setelah takbiratul ihram. Jika seseorang meninggalkannya — baik karena lupa maupun sengaja — hingga ia telah memulai membaca ta‘awwudz (a‘udzu billahi...), maka ia tidak kembali untuk membacanya, karena waktunya telah lewat, dan tidak pula diganti pada rakaat-rakaat berikutnya, sebagaimana telah kami sebutkan alasannya sebelumnya. tetapi tingkatnya di bawah bacaan surat.

Maka jika makmum hanya sempat memilih satu di antara keduanya, ia mendahulukan bacaan surat setelah al-Fatiḥah, karena itu lebih dekat kepada tuntunan Rasulullah dalam kesempurnaan qiyam.

Dalil Hadits:

 أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في الركعتين ألاوليين من الظهر و العصر بفاتحة الكتاب والسورة صحيح مسلم ج١ ص ١٥٥ باب الصلاة.

Nabi membaca pada dua rakaat pertama dalam salat Zhuhur dan Ashar dengan al-Fatihah dan satu surat.” (HR. al-Bukhari no. 759 dan Muslim hal 155. Dalam Al Mausu’ah Al Hadisiyah:

 عن أبي قتادة رضي الله عنه : «أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في الظهر في الأوليين بأم الكتاب، وسورتين، وفي الركعتين الأخريين بأم الكتاب ويسمعنا الآية، ويطول في الركعة الأولى ما لا يطول في الركعة الثانية، وهكذا في العصر وهكذا في الصبح». [صحيح] - [متفق عليه] الشرح يبين الحديث الشريف أنه في الصلوات السرية كالظهر والعصر يقرأ فيها بالفاتحة مع سورة أخرى في الركعتين الأوليين، ويقرأ بالفاتحة فقط في الأخريين كالصلاة الجهرية تماماً، ولا بأس من رفع الصوت قليلاً للتعليم. من فوائد الحديث وجوب قراءة الفاتحة في كل ركعة من ركعات الصلاة. استحباب قراءة شيء من القرآن بعد الفاتحة، في الركعتين الأوليين من الظهر والعصر، ومثله المغرب والعشاء وصلاة الفجر. القراءة بعد الفاتحة ليست واجبة، فلو اقتصر على الفاتحة أجزأت الصلاة؛ باتفاق العلماء، ولكن يكره الاقتصار على الفاتحة في الصلاة في غير ما ذكر، فرضًا كانت أو نفلاً؛ لأنَّه خلاف السنة. استحباب تطويل الركعة الأولى على الثانية، في الظهر والعصر. استحباب كون قراءة الظهر والعصر سرية. أنَّه لا بأس من الجهر بآية أو آيتين في القراءة في الصلاة السرية، لاسيَّما إذا تعلَّق بذلك مصلحة من تعليم أو تذكير؛ ذلك أنَّ النبيَّ -صلى الله عليه وسلم- كان يجهر في بعض الآيات، ولعل الغرض من ذلك بيان الجواز. استحباب الاقتصار على الفاتحة في الركعتين الأُخريين من صلاة العصر والظهر والعشاء، وثالثة المغرب. أنَّ ما ذكر في الحديث هو سُنَّة النبي -صلى الله عليه وسلم-.

Dari Abu Qatadah ra., bahwa Nabi biasa membaca pada salat Zuhur pada dua rakaat pertama dengan Ummul Kitab (surat al-Fatiḥah) dan dua surat (lainnya), dan pada dua rakaat terakhir beliau membaca Ummul Kitab (saja). Kadang beliau memperdengarkan kepada kami satu ayat. Beliau memperpanjang bacaan pada rakaat pertama melebihi rakaat kedua. Begitu pula pada salat Asar dan juga pada salat Subuh. (Hadis ṣaḥiḥ, muttafaq ‘alaih diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)

Penjelasan Hadis

Hadis yang mulia ini menjelaskan bahwa pada salat-salat sirriyah (yang bacaannya dilakukan pelan) seperti Zuhur dan Asar, Rasulullah membaca al-Fatiḥah dan sebuah surat lain pada dua rakaat pertama, sedangkan pada dua rakaat terakhir beliau hanya membaca al-Fatiḥah saja. Ini sama seperti cara beliau membaca dalam salat jahriyyah (yang bacaannya dikeraskan), seperti Maghrib, Isya, dan Subuh. Tidak mengapa mengeraskan suara sedikit untuk mengajarkan bacaan kepada makmum, sebagaimana dilakukan oleh Nabi yang kadang memperdengarkan sebagian ayatnya.

Faedah-faedah Hadis

  1. Wajib membaca al-Fatiḥah pada setiap rakaat salat, baik itu salat fardu maupun salat sunah.
  2. Disunnahkan membaca sebagian ayat atau surat lain setelah al-Fatiḥah pada dua rakaat pertama dari salat Zuhur dan Asar — dan juga pada Maghrib, Isya, serta Subuh.
  3. Bacaan setelah al-Fatiḥah tidak wajib. Jika seseorang hanya membaca al-Fatiḥah saja, maka salatnya tetap sah — menurut kesepakatan para ulama (ijma‘) — namun makruh jika seseorang selalu membatasi bacaannya hanya pada al-Fatiḥah, karena hal itu menyelisihi sunnah Nabi .
  4. Disunnahkan memperpanjang bacaan pada rakaat pertama dibandingkan rakaat kedua dalam salat Zuhur dan Asar.
  5. Disunnahkan membaca dengan pelan (sirriyyah) dalam salat Zuhur dan Asar. 6 Diperbolehkan mengeraskan sebagian ayat atau dua ayat dalam salat sirriyyah, terutama jika ada tujuan baik seperti mengajar atau mengingatkan makmum, sebagaimana Nabi terkadang memperdengarkan sebagian ayat untuk menunjukkan kebolehannya.
  6. Disunnahkan membaca hanya al-Fatiḥah pada dua rakaat terakhir dari Zuhur, Asar, dan Isya, serta rakaat ketiga salat Maghrib.
  7. Apa yang disebutkan dalam hadis ini adalah tuntunan dan sunnah Nabi , sehingga sebaiknya seorang muslim meneladaninya dalam salat-salatnya.

Dan juga ada keterangan di kitab lain,saya lupa kitab nya, redaksi nya sebagai berikut:

 واذاضاق الوقت عن بعض السنن قدم المؤكد منها على غير المؤكد،فيقدم السورة على دعاء الاستفتاح

Apabila waktu tidak cukup untuk mengerjakan semua sunnah, maka yang lebih ditekankan didahulukan daripada yang kurang ditekankan. Maka ia mendahulukan bacaan surat daripada doa iftitah seperti keterangan dalam kitab Attibyan hal 24.

 واعلم أن المذهب الصحيح المختار الذي عليه من يعتمد من العلماء أن قراءة القرآن أفضل من التسبيح والتهليل وغيرهما من الأذكار وقد تظاهرت الأدلة على ذلك والله أعلم

“Dan ketahuilah bahwa mazhab (pendapat) yang benar dan terpilih — yang dipegang oleh para ulama yang dapat dijadikan sandaran — adalah bahwa membaca Al-Qur’an lebih utama daripada bertasbih, bertahlil, dan selain keduanya dari berbagai jenis zikir. Telah banyak dalil yang menunjukkan hal itu. Dan Allah-lah yang lebih mengetahui.” Kesimpulannya; Menurut pendapat yang kuat dan diikuti para ulama terpercaya, membaca Al-Qur’an lebih utama daripada zikir lainnya seperti tasbih dan tahlil, karena terdapat banyak dalil yang menegaskan keutamaannya. Apalagi ikut pendapat imam Malik" malahan tidak perlu membaca doa iftitah. Di dalam Fatawa Darul Ifta'

 اختلف الفقهاء في حكم دعاء الاستفتاح؛ فذهب الحنفية والشافعية والحنابلة في المذهب إلى أنه سنة، بينما ذهب المالكية في المشهور إلى كراهة دعاء الاستفتاح في الفريضة؛ فمَن كان مُقلِّدًا لمذهب إمامٍ يرى قراءته في الصلاة فلا يحق له الإنكار على مَن لا يرى قراءته في الصلاة، من منطلق ما تقرر شرعًا من أنه لا يُنكَر المختلفُ فيه، وإنما يُنكَر المتفق عليه.

Para fuqaha (ulama ahli fikih) berselisih pendapat tentang hukum doa istiftah (doa pembuka salat). Mazhab Hanafiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah dalam pendapat resmi mazhab mereka berpendapat bahwa doa istiftah adalah sunnah. Sedangkan Malikiyah dalam pendapat yang masyhur berpendapat bahwa membaca doa istiftah dalam salat fardu adalah makruh. Karena itu, seseorang yang mengikuti (bertaklid kepada) imam mazhab yang berpendapat disyariatkannya doa istiftah tidak berhak mengingkari orang lain yang tidak membacanya dalam salat, sebab dalam ketentuan syariat telah ditetapkan bahwa tidak boleh ada pengingkaran dalam hal yang diperselisihkan ulama, dan pengingkaran hanya berlaku terhadap hal-hal yang telah disepakati hukumnya.

Kesimpulannya

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum doa istiftah: tiga mazhab (Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali) menganggapnya sunnah, sedangkan mazhab Maliki memakruhkannya dalam salat fardu. Karena itu, tidak boleh saling menyalahkan antara yang membaca dan yang tidak membacanya, sebab masalah ini termasuk khilafiyah (perbedaan pendapat yang diakui) dalam fikih.