Dalam perjalanan sejarah umat manusia, nilai-nilai moral kerap mengalami pergeseran, dan norma sosial perlahan menjadi semakin kabur. Dalam konteks seperti ini, kisah para nabi yang menghadapi kondisi serupa menjadi cermin penting bagi refleksi diri. Salah satu kisah paling menonjol adalah perjalanan dakwah Nabi Luth, seorang utusan Allah yang menghadapi masyarakat dengan tingkat kemerosotan moral yang ekstrem.
Di tengah situasi yang rusak secara nilai, Nabi Luth tampil sebagai sosok yang berani melawan arus dan tetap teguh pada kebenaran. Kisahnya menjadi pelajaran abadi tentang konsistensi dalam memegang prinsip, sekalipun berada di tengah masyarakat yang secara sistematis menolak nilai-nilai luhur. Bagaimana Nabi Luth menjaga prinsipnya tanpa kekerasan? Bagaimana ia berusaha menyelamatkan keluarganya dari lingkungan yang merusak? Dan pelajaran apa yang bisa kita petik dari keteguhan moral beliau?
Dakwah Penuh Hikmah di Tengah Permusuhan
Kaum Sodom dikenal sebagai komunitas pertama yang secara terang-terangan melakukan perilaku homoseksual. Al-Qur’an mencatat bagaimana Nabi Luth memperingatkan mereka:
وَلُوْطًا اِذْ قَالَ لِقَوْمِهٖٓ اَتَأْتُوْنَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ اَحَدٍ مِّنَ الْعٰلَمِيْنَ
“Dan (ingatlah) Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya, 'Mengapa kalian melakukan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun di dunia ini sebelum kalian?'” (QS. Al-A’raf: 80)
Menurut Al-Maraghi (Juz 8/hlm. 204), Nabi Luth menyampaikan bahwa perilaku kaumnya telah mencapai puncak keburukan. Perbuatan tersebut tidak hanya bertentangan dengan fitrah manusia, tetapi juga belum pernah terjadi sebelumnya. Ia menegaskan bahwa perilaku itu menyimpang dari akal sehat dan panduan agama.
Nabi Luth tidak menggunakan kekerasan dalam menyampaikan risalahnya. Sebaliknya, ia memilih pendekatan yang mengedepankan nalar dan menyentuh hati nurani. Ia mengajak kaumnya berpikir secara logis, bahwa bahkan makhluk lain seperti burung dan serangga menjaga pola hidup berpasangan untuk melanjutkan keturunan. Maka, manusia yang dikaruniai akal seharusnya mampu menunjukkan kemuliaan dalam perilakunya.
Pendekatan ini menjadi bukti bahwa dakwah yang menyentuh logika dan fitrah lebih efektif dibanding kekerasan atau intimidasi. Di masa kini, ini menjadi pelajaran bagi para pendidik dan pendakwah untuk tetap menyampaikan kebenaran dengan tegas namun bijaksana, serta menghormati kecerdasan audiens.
Konsistensi Tanpa Kompromi pada Nilai
Meski menghadapi penolakan dari kaumnya, Nabi Luth tidak bergeming. Ia menegaskan:
اَتَأْتُوْنَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعٰلَمِيْنَۙ ١٦٥ وَتَذَرُوْنَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُوْنَ ١٦٦
“Mengapa kalian mendatangi laki-laki di antara manusia, dan meninggalkan istri-istri yang Allah ciptakan untuk kalian? Sungguh kalian adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Asy-Syu’ara: 165–166)
Ar-Razi (24/526–527) menafsirkan bahwa ayat ini menunjukkan dua hal: pertama, perilaku menyimpang tersebut sudah menjadi ciri khas kaum Sodom; kedua, mereka memilih hubungan sesama jenis ketimbang yang sesuai dengan fitrah. Ia menambahkan bahwa frasa “apa yang Allah ciptakan untukmu dari istri-istrimu” menekankan bahwa mereka menyimpang dari tatanan hubungan yang sah.
Ketika kaumnya mengancam akan mengusirnya, Nabi Luth menyatakan dengan tegas:
قَالُوْا لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهِ يٰلُوْطُ لَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُخْرَجِيْنَ ١٦٧
“Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang sangat membenci perbuatanmu.” (QS. Asy-Syu’ara: 168)
Menurut Imam Ar-Razi, kata “من القالين” menunjukkan tingkatan kebencian yang lebih mendalam dibandingkan sekadar tidak setuju. Ini menandakan bahwa Nabi Luth tidak hanya menolak secara moral, tetapi sangat mengecam perilaku tersebut tanpa membenci pelakunya sebagai individu.
Sikap ini menunjukkan keseimbangan yang penting: menolak perbuatan buruk tanpa menghilangkan penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang. Dalam diskusi moral zaman sekarang, keseimbangan seperti ini sering kali hilang.
Menjaga Keluarga di Tengah Lingkungan yang Rusak
Ujian Nabi Luth semakin berat ketika istrinya sendiri tidak mendukung perjuangannya. Al-Qur’an menjelaskan:
ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوا امْرَاَتَ نُوْحٍ وَّامْرَاَتَ لُوْطٍۗ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتٰهُمَا...
“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir: istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang saleh, tetapi keduanya berkhianat...” (QS. At-Tahrim: 10)
Ibnu Katsir (8/192) menegaskan bahwa pengkhianatan yang dimaksud adalah dalam aspek keimanan, bukan perbuatan tercela secara moral. Ia menjelaskan bahwa kedekatan fisik dengan seorang nabi tidak menjamin keselamatan bila tidak disertai iman.
Ketika datang perintah untuk meninggalkan kota, Allah berfirman:
قَالُوْا يٰلُوْطُ اِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَّصِلُوْٓا اِلَيْكَ فَاَسْرِ بِاَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِّنَ الَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ اَحَدٌ...
“Berangkatlah di akhir malam bersama keluargamu, dan ikutilah mereka dari belakang. Jangan ada seorang pun di antara kalian yang menoleh ke belakang.” (QS. Hud: 81)
Ibnu Katsir (4/291) menyebutkan bahwa Nabi Luth diperintahkan untuk berada di belakang sebagai pelindung keluarganya, memastikan mereka tidak tergoda untuk melihat ke belakang saat azab diturunkan.
Kisah ini mengajarkan pentingnya membina dan menjaga keluarga, bahkan di tengah tantangan berat. Meski menghadapi pengkhianatan dari pasangannya sendiri, Nabi Luth tetap menjalankan tanggung jawabnya dan berusaha menyelamatkan anggota keluarganya yang beriman.
Keberanian Moral Melampaui Kekuatan Fisik
Momen paling menegangkan dalam kisah Nabi Luth terjadi saat ia berusaha melindungi tamunya dari ancaman kaumnya:
وَجَاۤءَهٗ قَوْمُهٗ يُهْرَعُوْنَ اِلَيْهِۗ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ السَّيِّاٰتِۗ قَالَ يٰقَوْمِ هٰٓؤُلَاۤءِ بَنَاتِيْ هُنَّ اَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللّٰهَ وَلَا تُخْزُوْنِ فِيْ ضَيْفِيْۗ اَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَّشِيْدٌ ٧٨
“Dan kaumnya datang kepadanya dengan tergesa-gesa. Mereka telah lama melakukan kejahatan. Luth berkata, ‘Wahai kaumku, ini anak-anak perempuanku, mereka lebih suci bagi kalian. Bertakwalah kepada Allah dan jangan cemarkan kehormatanku terhadap tamu-tamuku ini. Tidakkah ada di antara kalian orang yang berpikir?’” (QS. Hud: 78)
Dalam situasi genting itu, Nabi Luth mengungkapkan keputusasaannya:
قَالَ لَوْ اَنَّ لِيْ بِكُمْ قُوَّةً اَوْ اٰوِيْٓ اِلٰى رُكْنٍ شَدِيْدٍ ٨٠
“Seandainya aku punya kekuatan atau bisa berlindung kepada kelompok yang kuat...” (QS. Hud: 80)
Ibnu Katsir (4/291) mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Semoga Allah merahmati Luth. Ia sebenarnya telah berlindung kepada sandaran yang kuat—yakni Allah.” Ini menjadi pengakuan bahwa meski Luth merasa lemah secara fisik, keteguhannya tetap menjadi teladan keberanian yang luar biasa.
Dari sini kita belajar bahwa keberanian sejati tidak bergantung pada kekuatan fisik. Menegakkan kebenaran meski sendiri dan dalam posisi lemah adalah bentuk keberanian moral yang paling tinggi.
Penutup: Keteladanan yang Relevan Sepanjang Zaman
Keteguhan Nabi Luth tidak berhenti pada penolakan terhadap kemungkaran. Ia juga berusaha menawarkan solusi yang sesuai dengan fitrah manusia—dalam bentuk pernikahan yang sah. Ini menunjukkan bahwa melawan keburukan bukan hanya dengan menentang, tetapi juga memberikan alternatif yang baik.
Di tengah zaman dengan nilai yang kian beragam dan sering kali membingungkan, kisah Nabi Luth menjadi pengingat penting. Ia mengajarkan bahwa prinsip tidak harus disertai kebencian, kebenaran bisa disampaikan tanpa kekerasan, dan keberanian sejati lahir dari ketulusan, bukan dari kekuasaan.
0Komentar