Namun, di balik sebutan "pembina" yang terdengar mulia itu, kadang tersimpan luka, kebingungan, dan pencarian jati diri yang belum selesai.
Senioritas Itu Nyata
Fenomena senioritas di pesantren bukanlah mitos. Ia hidup, tumbuh, dan kadang menjadi bayang-bayang yang menekan suasana asrama. Ketika para santri yang baru saja lulus tiba-tiba diberi kuasa sebagai pembina, mereka belum tentu siap. Usia mereka masih belasan—masih dalam fase remaja awal menurut psikologi perkembangan, dan sedang berada di tahap "Identity vs Role Confusion" menurut Erik Erikson.
Ini adalah fase di mana pertanyaan-pertanyaan eksistensial bermunculan:
“Aku ini siapa?”
“Apakah aku diakui dan dihargai oleh lingkungan ini?”
Dan dalam kegamangan itu, tak sedikit yang kemudian mencari pengakuan dengan jalan pintas:
- Menjadi keras dan otoriter agar tampak berkuasa.
- Pamer kehebatan agar terlihat paling senior.
- Ikut-ikutan pola senioritas karena takut tidak dianggap.
Padahal, mereka sejatinya hanya ingin merasa penting dan dihargai. Sebuah kebutuhan manusiawi yang tidak salah, tetapi bisa jadi bermasalah ketika tidak diarahkan dengan baik.
Menyiapkan Pembina dari Sejak Mereka Masih Santri
Sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab dalam ekosistem pesantren, kita tidak bisa tinggal diam. Budaya senioritas yang mencekam harus dihentikan. Karena jika dibiarkan, kita justru sedang melanggengkan lingkaran kekerasan dari generasi ke generasi.
Itulah sebabnya, aku memutuskan untuk mengambil langkah proaktif sebelum mereka menjabat sebagai pembina. Fokus utamaku: pembinaan karakter dan kesehatan mental sejak dini.
Apa Saja yang Diajarkan?
1. Pengenalan Emosi dan Regulasi Diri Mereka belajar mengenali marah, kecewa, iri, bahkan rasa ingin diakui. Lalu belajar bagaimana cara mengelola emosi tersebut dengan sehat, agar tidak meledak dalam bentuk perilaku menekan kepada adik kelasnya.
2. Komunikasi Asertif Mereka dilatih menyampaikan kritik, teguran, dan arahan dengan bermartabat. Ada rumus yang mereka pegang:
Observasi + Pemikiran + Perasaan + Solusi
Dengan ini, konflik bisa diselesaikan dengan tenang. Bukan dengan teriakan, tapi dengan logika dan empati.
3. Pengenalan Tipe Kepribadian Mereka dikenalkan dengan istilah-istilah psikologi seperti narsistik, manipulatif, dan gaslighting—bukan untuk menghakimi, tapi untuk belajar memahami dan menghindari menjadi seperti itu.
4. Refleksi Diri Lewat Kartu Kejujuran Setiap bulan mereka mengisi “kartu kejujuran”:
- Apa yang sudah berjalan baik?
- Apa tantangan bulan ini?
- Apa solusi yang bisa diambil?
Sebuah langkah sederhana tapi mendalam untuk membentuk kesadaran diri dan pertumbuhan karakter.
Karena Jabatan "Pembina" Sejatinya adalah Ruang Belajar
Bukan kuasa yang harus ditonjolkan, tapi empati.
Bukan adik kelas yang harus ditekan, tapi diri sendiri yang harus ditata.
Menjadi pembina adalah masa latihan menuju kedewasaan—belajar komunikasi, tanggung jawab, dan bagaimana menjadi panutan yang tidak menakutkan, tapi justru menginspirasi.
Pesantren bukan tempat untuk melanggengkan budaya senioritas.
Pesantren adalah tempat untuk membentuk jiwa-jiwa yang sehat, yang suatu hari nanti akan memimpin dengan cinta, bukan dengan takut.
0Komentar