Hukum Kembalian Ditukar dengan Permen

hukum kembalian ditukar dengan permen

hukum kembalian ditukar dengan permen

Sering terjadi dalam transaksi jual beli di masyarakat, dimana penjual memberikan permen sebagai ganti nominal uang kembalian kepada pembeli. Terkadang, penjual melakukannya tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari pembeli, sementara kadang-kadang penjual menanyakan terlebih dahulu kepada pembeli apakah mereka setuju dengan penukaran tersebut. Jika pembeli setuju, penjual akan memberikan permen sebagai kembalian; jika tidak, penjual akan memberi kembalian dalam bentuk nominal uang sesuai dengan jumlah kembalian dari harga barang yang dibeli.

Namun, perlu dipahami bahwa praktik penukaran uang kembalian dengan permen seperti ini sebenarnya merupakan bentuk akad istibdal an-dain (barter atas sebuah tanggungan) yang keluar dari konsep jual beli konvensional. Dalam konteks ini, setelah pembeli membayar barang sesuai harga dengan nominal uang, maka transaksi jual beli dianggap selesai. Namun, jika uang yang dibayarkan oleh pembeli lebih dari harga barang, penjual memiliki tanggungan pada pembeli, dan tanggungan ini menjadi objek akad istibdal.

Para ulama sepakat bahwa akad istibdal dari sebuah tanggungan adalah sah dan dilegalkan menurut syariah. Namun, seperti akad-akad muamalah lainnya, istibdal memerlukan shighat (ucapan serah terima), karena shighat ini menandakan kesepakatan dan persetujuan dari kedua belah pihak terhadap akad yang dilakukan.

Baca juga : Hukumnya Menghadiri Resepsi Pernikahan tanpa Diundang

Jika dalam praktik yang terjadi penjual menanyakan pada pembeli "Mas, kembaliannya saya ganti permen ya?" dan pembeli menyetujui, maka para ulama sepakat bahwa akad tersebut sah karena telah ada shighat.

Sedangkan, jika dalam praktik yang terjadi penjual tidak mengucapkan kata-kata apapun yang berkaitan dengan penukaran uang kembalian dengan permen, akad tetap sah jika berdasarkan pendapat ulama yang melegalkan mu'athah. 

Dalam menjelaskan pengertian dari mu’athah ini, Sayyid Abi Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha’ memaparkan:

ـ (والحاصل) المعاطاة: هي أن يتفق البائع والمشتري على الثمن والمثمن، ثم يدفع البائع المثمن للمشتري، وهو يدفع الثمن له، سواء كان مع سكوتهما، أو مع وجود لفظ إيجاب أو قبول من أحدهما، أو مع وجود لفظ منهما لكن لا من الالفاظ المتقدمة

“Kesimpulan. Mu’athah adalah kesepakatan antara penjual dan pembeli atas harga dan barang yang dihargai, lalu penjual memberikan barang kepada pembeli dan pembeli memberikan nominal uang pada penjual. Baik keduanya diam saja atau terdapat ucapan serah terima dari salah satu dari penjual dan pembeli, atau terdapat perkataan dari keduanya namun bukan berupa perkataan yang biasa digunakan dalam jual beli..” (Sayyid Abi Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha’, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 3, hal. 8)

Dalam konteks umum, mu'athah mengacu pada proses jual beli atau akad muamalah lainnya tanpa menyebutkan shighat (ucapan serah terima) dari kedua belah pihak. Pendapat para ulama terbagi mengenai keabsahan akad yang dilakukan melalui mu'athah ini.

Perbedaan pandangan mengenai mu'athah juga berlaku dalam konteks istibdal, termasuk praktik penukaran kembalian dengan permen tanpa persetujuan dari pembeli. Menurut pandangan ulama yang mengabsahkan akad dengan sistem mu'athah, praktik ini dihukumi sah selama tidak ada komplain dari pihak pembeli. Namun, jika pembeli mengajukan keluhan dan menolak penukaran uang kembalian dengan permen, maka penjual harus membayar kembali nominal uang yang seharusnya diberikan kepada pembeli.

Syeikh Sulaiman al-Jamal memberikan penjelasan terkait istibdal dengan cara mu'athah seperti contoh tersebut:

ـ (وصح استبدال ولو في صلح عن دين غير مثمن بغير دين) كثمن في الذمة (ودين قرض وإتلاف) ـ

ـ (قوله وصح استبدال إلخ) بشرط أن يكون الاستبدال بإيجاب وقبول وإلا فلا يملك ما يأخذه قاله السبكي وهو ظاهر وبحث الأذرعي الصحة بناء على صحة المعاطاة ا هـ

Menurutnya, istibdal bisa sah dalam berbagai situasi, termasuk ketika terdapat tanggungan selain berupa barang yang dibeli dengan bentuk selain uang tunai, seperti pada harga barang yang masih dalam tanggungan, tanggungan hutang, atau karena kerusakan barang.

Keabsahan istibdal memerlukan adanya ucapan serah terima. Jika tidak ada ucapan serah terima, maka seseorang tidak dapat memiliki barang yang diambilnya dari orang lain. Imam al-Adzra'i berpendapat bahwa istibdal tetap sah dengan mengacu pada pandangan yang melegalkan mu'athah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penukaran uang kembalian dengan permen bisa dihukumi sah karena termasuk akad istibdal an-dain, selama tidak ada penolakan dari pihak pembeli. Namun, jika pembeli menolak, penjual harus memberi kembali uang kembalian dalam bentuk nominal uang yang seharusnya diberikan. Namun, diingatkan bahwa penjual sebaiknya tidak mengganti uang kembalian dengan permen secara sembarangan jika uang kembalian tersedia dan pembeli belum dipastikan benar-benar setuju dengan praktik tersebut.

Baca juga : Sholat Sejajar dengan Perempuan Menurut Kacamata Fiqh

Next Post Previous Post