Kena Najis di Pertengahan Salat

Kena Najis di Pertengahan Salat

Kena najis di pertengahan salat

Deskripsi Masalah

Seorang imam sedang melakukan solat magrib ketika rukuk dia melihat ada kotoran cicak di kakinya tapi dia masih meneruskan solatnya sampai selesai, padahal dia tahu kalau solatnya tidak sah dan seandainya dia batalkan solatnya dan menarik makmum yang di belakangnya untuk mengganti sebagai posisi imam khawatir tidak paham si makmum tersebut, tapi setelah selesai solat dia berdikir terus pulang kerumah untuk i'adah solat.

Pertanyaan

Apakah salat si makmum tidak sah semua?

Jawaban

Sholat Jamaah dimana sholat imam batal namun tidak di ketahui oleh makmum maka ditafshil:

  • a. Jika berupa najis ainiyyah, bagi makmum wajib mengulangi sholatnya.
  • b. Jika berupa najis hukmiyyah maka makmum tidak wajib mengulanginya.

Namun imam Nawawi dalam kitab at tahqiq mempertegas bahwa bagi makmum tidak wajib mengulangi sholatnya secara muthlaq (baik berupa najis hukmiyyah atau ainiyyah).

Catatan :

  • a. Bila makmum melihat imam terkena najis di tengah-tengah sholat, maka makmum wajib mufaroqoh.
  • b. Kotoran cicak yang dima'fu (yang dimaafkan) itu dengan sarat :

    1. Kotoran cicak itu kering
    2. 'Umuummul balwa (sudah merata musibahnya) artinya tiap hari itu pasti ada banyak kotoran cicak dan sulit untuk mencucikan kotoran cicak tiap hari)
    3. Ketidak sengajaan menginjak kotoran cicak
Baca detail : Najis
Refrensi

الجمل حاشية الجمل على شرح المنهج - فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب ج ١ ص ٥٣٠

(لَا) إِنْ بَانَ ذَا حَدَثٍ وَلَوْ حَدَثًا أَكْبَرَ (وَ) ذَا (نَجَاسَةٍ خَفِيَّةٍ فِي ثَوْبِهِ أَوْ بَدَنِهِ فَلَا تَجِبُ الْإِعَادَةُ عَلَى الْمُقْتَدِي لِانْتِفَاءِ التَّقْصِيرِ مِنْهُ فِي ذَلِكَ بِخِلَافِ النَّجَاسَةِ الظَّاهِرَةِ وَهِيَ مَا يَكُونُ بِحَيْثُ لَوْ تَأَمَّلَهَا الْمُقْتَدِي رَآهَا وَالْخَفِيَّةُ بِخِلَافِهَا وَحَمَلَ فِي الْمَجْمُوعِ إِطْلَاقَ مَنْ أَطْلَقَ وُجُوبَ الْإِعَادَةِ فِي النَّجَاسَةِ عَلَى الظَّاهِرَةٍ لَكِنَّهُ صَحَّحَ فِي التَّحْقِيقِ عَدَمَ وُجُوبِ الْإِعَادَةِ مُطْلَقًا (قَوْلُهُ بِخِلَافِ النَّجَاسَةِ الظَّاهِرَةِ إِلَخْ التَّحْقِيقَ أَنَّ الظَّاهِرَ هِيَ الْعَيْنِيَّةُ فِي أَي مَوْضِعٍ كَانَتْ، وَالْخَفِيَّةُ هِيَ الْحُكْمِيَّةُ فِي أَيِّ مَوْضِعٍ كَانَتْ. اهـ .

Hasyiyah al-Jamal

Tidak wajib I’adah (mengulang sholat) jika imamnya sedang berhadats sekalipun hadats besar dan membawa najis yang samar di pakaian atau badan, maka tidak wajib mengulang shalat bagi makmum karena tidak adanya kesalahan dari makmum dalam hal tersebut. Berbeda halnya dengan najis yang terlihat jelas, yaitu yang dapat terlihat oleh makmum. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ memberikan pendapat bahwa seseorang yang berpendapat wajib mengulangi shalat jika terdapat najis yang terlihat, namun dalam kitab al-Tahqiiq justru Imam Nawawi berpendapat bahwa tidak wajib mengulangi shalat secara mutlak.

Pada pernyataan “bertentangan dengan najis yang terlihat jelas” merupakan penjelasan bahwa najis ainiyah adalah yang terlihat dengan mata secra langsung di tempat najis tersebut, sedangkan najis hukmiyah adalah najis yang tidak terlihat namun sebenarnya najis tersebut terdapat di suatu tempat.


البجيرمي حاشية البجيرمي على شرح المنهج - التجريد لنفع العبيد ج ١ ص ٣٤٣

وَقَدْ تَجِبُ نِيَّةُ الْمُفَارَقَةِ كَأَنْ رَأَى بِإِمَامِهِ نَجَاسَةً خَفِيَّةً تَحْتَ ثَوْبِهِ وَقَدْ كَشَفَهَا الرِّيحُ وَهَذَا يُفِيدُ أَنَّ النَّجَاسَةَ الْخَفِيَّةَ لَيْسَتْ الْحُكْمِيَّةَ. اهـ. ح ل وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى مَا قَدَّمَهُ حل فِي الْفَرْقِ بَيْنَ النَّجَاسَةِ الظَّاهِرَةِ وَالْخَفِيَّةِ

Hasyiyah al-Bujairomi ala al-Khotib

Terkadang niat mufaroqoh atau niat berpisah dengan imam itu hukumnya wajib, seperti kasus makmum melihat adanya najis di baju imam. Dan kemudian najis tersebut terbuka disebabkan hembusan angin. Maka hal ini tidak memberikan faedah atau kesimpulan bahwa najis tersebut dihukumi najis yang samar dan bukan termasuk najis hukmiyah.

البكري الدمياطي إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ج ٢ ص ١٤

وقد تجب المفارقة، كأن عرض مبطل لصلاة إمامه وقد علمه فيلزمه نيتها فورا وإلا بطلت، وإن لم يتابعه اتفاقا، كما في المجموع.

(قوله: وقد تجب المفارقة) أي بالنية القلبية إزالة للقدوة الصورية. ومحل وجوب نية المفارقة حيث بقي الإمام على صورة المصلين، أما لو ترك الصلاة وانصرف أو جلس على غير هيئة المصلين أو مات لم يحتج لنية المفارقة.

(قوله: كأن عرض مبطل لصلاة إمامه) وذلك كحدث، أو تنحنح، أو ضحك، أو كلام مبطل.

وقوله: فيلزمه أي المأموم نيتها، أي المفارقة.

(قوله: وإلا بطلت) أي وإن لم ينو المفارقة فورا بطلت صلاته.

وقوله : وإن لم يتابعه أي في ركن من أركان الصلاة.

وقوله: اتفاقا راجع لقوله بطلت، أي بطلت اتفاقا

I’anah al-Tholibiin

Terkadang wajib bagi makmum untuk mufaraqah (keluar dari jamaah sholat) jika terdapat hal-hal yang mengindikasikan sholatnya Imam batal. Jika makmum mengetahui maka wajib untuk menyegerakan niat keluar dari jamaah, jika tidak segera berniat maka Sholatnya makmum menjadi batal, meskipun pada prakteknya makmum tidak mengikuti Gerakan Imam. Pendapat ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Majmu’. 

Pendapat Mushoniif Fath al-Muin pada lafadz “Wajib mufaraqah” yakni berniat dalam hati untuk tidak mengikuti sholatnya Imam. Niat mufaraqah ini wajib jika Imam masih dalam Gerakan Sholat. Namun jika Imam tiba-tiba meninggalkan sholat atau tiba-tiba duduk di selain tempat yang seharusnya duduk dalam sholat atau tiba-tiba Imam Meninggal, maka bagi makmum tidak wajib niat Mufaraqah.

Pendapat Mushoniif Fath al-Muin pada lafadz “Hal-hal yang mengindikasikan sholatnya Imam Batal” itu seperti halnya Hadas, berdehem, tertawa, atau berbicara yang menyebabkan sholat batal.

Pendapat Mushoniif Fath al-Muin pada lafadz “Wajib Bagi Makmum” yakni wajib untuk berniat Mufaraqah

Pendapat Mushonnif Fath al-Muin pada lafadz “Jika tidak, maka batal” yakni jika makmum tidak segera berniat Mufaraqah.

Pendapat Mushonnif Fath al-Muin pada lafadz “Meskipun makmum tidak mengikuti Gerakan Imam” yakni Gerakan-gerakan rukun dalam sholat.

Pendapat Mushonnif Fath al-Muin pada lafadz “Sepakat” yakni ulama’ sepakat terhadap batalnya sholat makmum jika tidak segera niat Mufaraqah.

مجموع ج ۲ ص ٥٥٠

وحكى الخراسانيون وجهاً ضعيفاً في طهارة روث السمك والجراد وما لا نفس له سائل، وقد قدمنا وجهاً عن حكاية صاحب «البيان» والرافعي أن بول ما يؤكل وروثه طاهران وهو غريب، وهذا المذكور من نجاسة ذرق الطيور كلها هو مذهبنا، وقال أبو حنيفة : كلها طاهرة إلا ذرق الدجاج لأنه لا نتن إلا في ذرق الدجاج، ولأنه عام في المساجد، ولم يغسله المسلمون كما غسلوا بول الآدمي. واحتج أصحابنا بما ذكره المصنف وأجابوا عن عدم النتن بأنه منتقض ببعر الغزلان، وعن المساجد بأنه ترك للمشقة في إزالته مع تجدده في كل وقت، وعندي أنه إذا عمت به البلوى وتعذر الإحتراز عنه يعفى عنه وتصح الصلاة كما يعفى عن طين الشوارع وغبار السرجين

Al-Majmu’ syarh al-Muhadzab

Para ulama dari Khurasan menyampaikan pandangan yang lemah mengenai kesucian kotoran ikan, belalang, dan apa pun yang tidak memiliki darah yang mengalir di dalamnya. Dan telah kami (shohib al-Majmu’) sampaikan pendapat dari pengarang kitab 'Al-Bayan' dan pendapat dari Imam Rafi'i bahwa kencing serta kotoran dari hewan yang dapat dimakan adalah suci, dan ini adalah pendapat yang kurang umum. Sedangkan untuk kotoran burung, semuanya menurut pendapat ulama’ Syafi’iyah adalah najis. Namun menurut ulama Hanafiyah Semuanya suci kecuali kotoran ayam, karena kotoran ayam merupakan satu-satunya kotoran yang mengandung najis. Sedangkan burung selain ayam ini sudah umum terdapat di masjid-masjid, dan umat islam tidak membasuhnya seperti membasuh kencing manusia. Ashabu al-Syafii mendukung pendapat yang disebutkan oleh pengarang dan menjawab tentang ketidaknajisan kotoran burung dengan menyatakan bahwa najisnya rusak oleh aliran Sungai. Dan dalam kasus kotoran burung di masjid, hal itu dikarenakan sulitnya membersihkan kotoran yang terjadi setiap saat. Menurut pendapat saya (Shohib al-Majmu’), jika kotoran menyebar dan sulit untuk menghindarinya, maka dima’fu, dan shalat tetap sah, sebagaimana juga lumpur di jalan dan debu di jalanan juga di ma’fu.

Baca juga : Sholat Sejajar dengan Perempuan Menurut Kacamata Fiqh

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url