Dalam syariat Islam, terdapat kondisi-kondisi tertentu yang menjadi sebab perubahan hukum asal (keringanan), seperti menjamak shalat, mengqashar shalat, hingga diperbolehkannya tidak berpuasa. Salah satu faktor utama yang memberikan keringanan tersebut adalah safar atau perjalanan jauh.
Allah SWT secara tegas memberikan keringanan ini dalam Al-Qur'an:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"...Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185).
Namun, perlu dipahami bahwa status "musafir" tidak serta-merta membuat seseorang boleh langsung membatalkan puasa. Ada aturan main fiqih yang harus diperhatikan agar kita tidak salah dalam menerapkannya.
Pandangan Ulama dalam Kitab Kuning
Imam Jalaludin Al-Mahalli dalam kitab Kanzur Raghibin menjelaskan rinciannya sebagai berikut:
وَيُبَاحُ تَرْكُهُ لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلا مُبَاحًا، فَإِنْ تَضَرَّرَ بِهِ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ وَإِلا فَالصَّوْمُ أَفْضَلُ
"Dibolehkan meninggalkan puasa bagi musafir dengan perjalanan yang jauh dan bertujuan mubah (bukan maksiat). Jika berpuasa membahayakannya, maka berbuka lebih utama. Jika tidak membahayakan, maka berpuasa lebih utama."
Lebih lanjut, Syekh Muhammad Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj memberikan catatan penting mengenai waktu keberangkatan:
وَلَوْ نَوَى وَسَافَرَ لَيْلًا، فَإِنْ جَاوَزَ قَبْلَ الْفَجْرِ مَا اُعْتُبِرَ مُجَاوَزَتُهُ فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَفْطَرَ، وَإِلَّا فَلَا
"Jika seseorang berniat puasa dan berangkat pada malam hari, lalu sebelum fajar ia telah melewati batas wilayahnya, maka ia boleh berbuka (tidak puasa). Jika belum melewati batas saat fajar, maka tidak boleh."
6 Aturan Utama Musafir Boleh Tidak Berpuasa
Berdasarkan penjelasan para ulama di atas, berikut adalah kesimpulan aturan bagi musafir yang ingin mengambil keringanan tidak berpuasa:
Jarak Tempuh Minimal: Perjalanan harus mencapai jarak yang membolehkan shalat qashar. Dr. Musthofa Al-Khin dalam Al-Fiqh Al-Manhaji menyebutkan konversinya adalah minimal 81 kilometer.
Tujuan yang Baik: Perjalanan tersebut harus bersifat mubah (seperti mudik, bekerja, atau silaturahmi), bukan perjalanan untuk melakukan kemaksiatan.
Waktu Keberangkatan: Musafir harus sudah keluar dari batas wilayah tempat tinggalnya (batas desa/kelurahan) sebelum waktu fajar (Subuh). Jika saat adzan Subuh ia masih di rumah atau belum melewati batas desa, ia wajib berpuasa.
Berangkat Setelah Fajar: Seseorang yang berangkat setelah terbit fajar (pagi atau siang hari) dianggap mengawali hari sebagai orang mukim, sehingga ia wajib berpuasa penuh hari itu dan tidak boleh sengaja membatalkannya di tengah jalan.
Membatalkan Puasa Saat di Jalan: Jika seseorang sudah berstatus musafir sejak sebelum Subuh dan ia memilih tetap berpuasa di pagi hari, namun di tengah jalan ia merasa berat, ia diperbolehkan membatalkan puasanya.
Status Mukim: Jika seorang musafir telah sampai di tujuan dan berniat menetap (mukim) atau kembali ke rumahnya, maka hilanglah keringanan tersebut dan ia dilarang berbuka pada hari-hari berikutnya.

0Komentar