Utang piutang merupakan bagian dari muamalah yang diperbolehkan dalam Islam. Praktik ini lahir dari kebutuhan nyata manusia, mulai dari modal usaha, biaya hidup, hingga bantuan mendesak lainnya. Meski pintu utang piutang dibuka lebar sebagai bentuk tolong-menolong, Islam tidak membiarkannya berjalan tanpa aturan. Ada batasan etika dan ketentuan syariat yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak.

Larangan Kekerasan dalam Menagih

Persoalan sering muncul ketika penagihan dilakukan dengan cara-cara yang merugikan, seperti merusak barang milik orang yang berutang. Di tengah masyarakat, kita masih menjumpai praktik pendobrakan pintu, corat-coret dinding, hingga perusakan kendaraan dengan dalih "menagih hak".

Dalam Islam, hak untuk menagih utang tidak otomatis membenarkan perusakan harta orang lain. Islam sangat menjunjung tinggi keamanan harta benda. Merusak harta sesama bukanlah perkara sepele, sekalipun pelakunya merasa berada di posisi yang benar.

Teladan Rasulullah dalam Menghadapi Penagih yang Kasar

Islam membedakan antara "hak" dan "cara menuntut hak". Sebuah kisah tentang Rasulullah ﷺ dan Zaid bin Sa’nah (seorang pendeta Yahudi) menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.

Zaid bin Sa’nah pernah menagih utang kepada Rasulullah ﷺ dengan cara yang kasar; ia menarik pakaian Nabi hingga ke pundak dan menuduh keluarga Nabi sebagai orang yang suka menunda utang. Saat itu, Umar bin Khattab marah dan membentak Zaid, namun Rasulullah ﷺ justru menenangkan Umar dan bersabda:

أَنَّ زَيْدَ بْنَ سَعْنَةَ، كَانَ مِنْ أَحْبَارِ الْيَهُودِ أَتَى النَّبِيَّ ﷺ يَتَقَاضَاهُ، فَجَبَذَ ثَوْبَهُ عَنْ مَنْكِبِهِ الْأَيْمَنِ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّكُمْ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَصْحَابُ مَطْلٍ، وَإِنِّي بِكُمْ لَعَارِفٌ، قَالَ: فَانْتَهَرَهُ عُمَرُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «يَا عُمَرُ أَنَا وَهُوَ كُنَّا إِلَى غَيْرِ هَذَا مِنْكَ أَحْوَجَ، أَنْ تَأْمُرَنِي بِحُسْنِ الْقَضَاءِ، وَتَأْمُرَهُ بِحُسْنِ التَّقَاضِي، انْطَلِقْ يَا عُمَرُ أَوْفِهِ حَقَّهُ، أَمَا إِنَّهُ قَدْ بَقِيَ مِنْ أَجَلِهِ ثَلَاثٌ فَزِدْهُ ثَلَاثِينَ صَاعًا لِتَزْوِيرِكَ عَلَيْهِ

Artinya: “Sesungguhnya Zaid bin Sa'nah, yang termasuk para pendeta Yahudi, datang kepada Nabi ﷺ untuk menagih utangnya. Ia menarik pakaian Nabi dari pundak kanan beliau, lalu berkata: 'Kalian wahai Bani Abdul Muthalib adalah orang-orang yang suka menunda pembayaran, dan aku benar-benar mengenal kalian.' Maka Umar membentaknya. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: 'Wahai Umar, aku dan dia lebih membutuhkan selain ini darimu. Yaitu engkau memerintahkanku agar membayar dengan cara yang baik, dan engkau memerintahkannya agar menagih dengan cara yang baik. Pergilah wahai Umar, bayarkan haknya. Ketahuilah, masih tersisa tiga hari dari tempo pembayarannya, maka tambahkan untuknya tiga puluh sha‘ karena engkau telah menakut-nakutinya'.” (HR. Thabrani dan al-Hakim).

Hadis ini menegaskan bahwa kepemilikan hak tidak membolehkan seseorang melampaui batas. Menagih dengan cara kasar atau merusak barang adalah bentuk kezaliman.

Ancaman bagi Mereka yang Merugikan Orang Lain

Rasulullah ﷺ memberikan peringatan keras bagi siapa pun yang sengaja menyulitkan atau merugikan orang lain:

مَنْ ضَارَّ ضَارَّ اللهُ بِهِ، وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْهِ

Artinya: “Siapa yang merugikan orang lain, Allah akan merugikannya. Dan siapa yang mempersulit orang lain, Allah akan mempersulitnya.” (HR. Tirmidzi)

Mulla al-Qari dalam Mirqatul Mafatih menjelaskan bahwa istilah dharar (mudarat) sering kali berkaitan dengan harta:

إِنَّ الضَّرَرَ وَالْمَشَقَّةَ مُتَقَارِبَانِ لَكِنَّ الضَّرَرَ يُسْتَعْمَلُ فِي إِتْلَافِ الْمَالِ وَالْمَشَقَّةَ فِي إِيصَالِ الْأَذِيَّةِ إِلَى الْبَدَنِ كَتَكْلِيفِ عَمَلٍ شَاقٍّ اهـ. وَالْأَظْهَرُ أَنَّ الضَّرَرَ يَشْمَلُ الْبَدَنِيَّ وَالْمَالِيَّ وَالدُّنْيَوِيَّ وَالْأُخْرَوِيَّ

Artinya: “Sesungguhnya mudarat dan kesulitan itu saling berdekatan maknanya. Namun mudarat biasa digunakan dalam konteks perusakan harta, sedangkan kesulitan digunakan dalam konteks sampainya penderitaan kepada badan... Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa mudarat mencakup mudarat pada badan, harta, urusan dunia, dan urusan akhirat.” (Mirqatul Mafatih, Jilid VIII, hal. 3156).

Konsekuensi Hukum: Kewajiban Mengganti Rugi

Jika terjadi perusakan harta saat menagih utang, pelaku tidak lepas dari tanggung jawab hukum. Ia wajib mengganti kerusakan tersebut. Syekh Wahbah Zuhaili dalam Fiqhul Islami menjelaskan:

إذا أتلف إنسان مالًا متقومًا لغيره وجب عليه ضمان مثله إن كان مثليًا، أو قيمته إن كان قيميًا

Artinya: “Apabila seseorang merusak harta orang lain yang bernilai, maka wajib baginya mengganti dengan barang yang sejenis jika harta tersebut termasuk barang mitsli, atau mengganti dengan nilainya jika termasuk barang bernilai.” (Fiqhul Islami, Jilid IV, hal. 2880).

Kesimpulan

Menagih utang adalah hak, namun pelaksanaannya harus tetap dalam koridor syariat. Merusak barang atau menyakiti secara fisik tidak pernah dibenarkan dalam Islam, meskipun atas nama menuntut hak. Penyelesaian utang piutang harus selalu mengedepankan cara-cara yang beradab, mulia, dan bertanggung jawab.