Strategi Ketahanan Pangan

Indonesia ditargetkan menjadi pusat pangan dunia pada tahun 2045. Harapan ini tidak lepas dari posisi Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki potensi pertanian sangat besar. Menurut data dari Food and Agriculture Organization (FAO), produksi padi Indonesia mengalami peningkatan signifikan, mencapai sekitar 54,65 juta ton pada tahun 2020. Jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai produsen beras terbesar ketiga di dunia. Selain beras, kekayaan sumber daya alam Indonesia juga sangat melimpah, sehingga tidak mengherankan jika muncul peribahasa “gemah ripah loh jinawi” untuk menggambarkan kesejahteraan dan ketahanan pangan negara ini.

FAO mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi di mana setiap individu memiliki akses terhadap makanan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun kualitas, guna menjalani kehidupan yang sehat dan produktif. Maka dari itu, ketahanan pangan menjadi pilar penting dalam pembangunan dan stabilitas sebuah negara. Dua aspek utama yang harus menjadi perhatian adalah ketersediaan bahan pangan yang memadai serta pengelolaan distribusi yang efektif—yang menjadi tanggung jawab besar pemerintah.

Pengelolaan Lahan Pertanian: Pelajaran dari Nabi Yusuf (QS Yusuf: 47–49)

قَالَ تَزْرَعُوْنَ سَبْعَ سِنِيْنَ دَاَبًاۚ...

Dalam ayat tersebut, Nabi Yusuf memberikan arahan kepada masyarakat Mesir untuk bercocok tanam selama tujuh tahun berturut-turut dan menyimpan hasil panen di tangkainya, menyisihkan hanya sedikit untuk konsumsi. Setelah masa itu, akan datang tujuh tahun masa sulit yang hanya bisa dihadapi dengan stok makanan yang telah disimpan sebelumnya. Pada akhirnya, akan datang tahun yang diberkahi hujan dan keberlimpahan hasil bumi.

Tafsir al-Misbah oleh Quraish Shihab menjelaskan bahwa mimpi Raja Mesir tersebut merupakan isyarat akan datangnya masa subur yang kemudian diikuti masa paceklik panjang. Periode subur harus dimanfaatkan sebaik mungkin dengan menanam dan menyimpan hasil panen, sementara masa paceklik memerlukan kesiapan dan strategi penyimpanan yang matang. Hal ini mengajarkan pentingnya mempertimbangkan faktor cuaca, jenis tanaman, dan sistem pengairan dalam merancang ketahanan pangan.

Lebih jauh, setelah masa kesulitan berlalu, Allah menjanjikan turunnya hujan dan hasil bumi yang melimpah. Ini menjadi simbol kesejahteraan yang akan kembali dirasakan masyarakat jika mereka mampu melewati masa krisis dengan perencanaan yang tepat (Tafsir al-Misbah, Vol. 6, hlm. 472).

Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menekankan pentingnya kontinuitas dalam pertanian. Kata da’aban pada ayat tersebut menunjukkan keharusan untuk bersungguh-sungguh dan konsisten. Ia juga menjelaskan bahwa penyimpanan hasil panen dalam bulirnya adalah metode ideal untuk menjaga kesegaran serta menghindarkan dari kerusakan akibat udara dan hama (Juz 18, hlm. 465).

Ayat ini tidak hanya berbicara tentang penyimpanan, namun juga efisiensi dalam konsumsi pangan. Pendekatan distribusi yang hemat dan proporsional akan menjadi kunci ketahanan selama masa sulit. Strategi jangka panjang seperti yang dicontohkan Nabi Yusuf sangat relevan untuk diadopsi di era modern, terutama menghadapi perubahan iklim yang tidak menentu.

Peran Pemerintah dalam Distribusi Pangan: Telaah QS Al-Nahl: 112

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً...

Allah memberikan perumpamaan tentang sebuah negeri yang awalnya aman, tenteram, dan dilimpahi rezeki dari berbagai arah. Namun karena penduduknya mengingkari nikmat Allah, mereka ditimpa kelaparan dan ketakutan sebagai akibat dari tindakan mereka sendiri.

Fakhruddin al-Razi menafsirkan bahwa ayat ini berlaku secara umum untuk semua negeri, bukan hanya satu tempat. Sebuah negara akan memperoleh berkah dan kemakmuran jika penduduk serta pemimpinnya taat kepada Allah. Nikmat tersebut meliputi keamanan, ketentraman, dan kelimpahan rezeki—tiga hal yang menjadi fondasi kehidupan sejahtera (Mafatih al-Ghaib, Jilid 20, hlm. 279).

Quraish Shihab menambahkan bahwa kisah ini juga merujuk pada Kota Makkah yang diberi kelimpahan, namun karena membangkang terhadap Rasulullah dan perintah Allah, mereka akhirnya dihukum dengan krisis pangan dan ketidakamanan (Tafsir al-Misbah, Vol. 7, hlm. 370).

Hal ini menjadi peringatan bahwa krisis pangan dapat menimpa negeri mana pun, termasuk Indonesia, apabila pemerintah gagal menjalankan fungsinya. Maraknya korupsi, lemahnya sistem keamanan, serta buruknya manajemen distribusi pangan berpotensi mengancam stabilitas nasional.

Penutup

Al-Qur’an telah memberikan pedoman yang jelas dalam menghadapi krisis pangan. Kisah Nabi Yusuf menjadi contoh nyata bagaimana strategi pertanian dan penyimpanan yang bijak dapat menyelamatkan bangsa dari bencana kelaparan. Pada saat yang sama, QS Al-Nahl mengingatkan kita bahwa keberkahan dan kemakmuran suatu negeri sangat bergantung pada sikap syukur dan ketaatan kepada Allah. Tantangannya terletak pada sejauh mana kita mampu memetik hikmah dari sejarah dan menerapkannya dalam konteks zaman sekarang.