Hukum berdiri saat Maulid Nabi

Mahallul Qiyam

Nderekngaji - Menjadi sebuah kebiasaan yang berlaku di kalangan umat Islam, Ketika pembacaan Maulid nabi seperti as-Diba’ Barzanji, Simthut Duror atau sejenisnya, mereka akan berdiri pada saat-saat tertentu. Biasanya disebut Mahallul Qiyam (tempat berdiri). Melihat fenomena itu, sayyid Abi Bakar Muhammad Syato ad-Dimyati menjelaskan dalam kitab I’anah at-Thalibin:

فائدة, جرة العادة أن الناس إذا سمعوا ذكر وضعه يقومون تعظيما له وهذا القيام مستحسن لما فيه من تعظيم النبي وقد فعل ذلك كثير من علماء الأمة الذين يقتدى بهم

 “Faidah: telah menjadi kebiasaan Ketika orang-orang mendengar kelahiran Nabi Muhammad, Mereka berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Berdiri semacam ini dianggap baik karena didalamnya mengandung pengangungan terhadap nabi. Hal tersebut telah dikerjakan oleh mayoritas Ulama’ yang patut untuk diikuti.” – Abi Bakar Muhammad Syato ad-Dhimyathi, I’anah at-Thalibin, III/363

Dalam menyikapi persoalan ini, abuya sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasani menegaskan:

فاعلم أن القيام في المولد النبوي ليس هو بواجب ولا سنة ولايصح اعتقاد ذلك ابدا, وإنما هو حركة يعبر بها الناس عن فرحهم وسرورهم فإذا ذكر أنه صلى الله عليه وسلم ولد وخرج الى الدنيا يتصور السامع في تلك اللحظة أن الكون كله تهتز فرحا وسرورا بهذه النعمة فيقوم مظهرا لذلك الفرح والسرور معبرا عنه فهي مسألة عادية محضة لا دينية أنها ليست عبادة ولا شريعة ولا سنة وما هي إلا أن جرت عادة الناس بها

 “Ketahuilah, sesungguhnya berdiri saat perayaan maulid nabi bukan perkara wajib, bukan pula perkara sunnah. Dan keyakinan akan hukum itu tidak benar. Akan tetapi, berdiri itu merupakan ungkapan dari rasa kebahagiaan umat manusia. Sehingga Ketika disebut Rasulullah SAW telah lahir ke dunia, para pendengarnya menggambarkan bahwa seluruh dunia kala itu mendetar Bahagia dengan nikmat tersebut sehingga ia mengungkapkan kebahagiaan itu dengan cara berdiri. Oleh karena itu persoalan berdiri itu murni sebuah kebiasaan dan tidak masuk ranah agama. Berdiri itu bukan termasuk ibadah, bukan syariat dan bukan juga sunnah. Akan tetapi hanya sebuah kebiasaan yang sudah mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat.” – Muhammad Alwi al-Maliki, Al-I’lam bi Fatawi Alimmah Al-Islam Haula Maulidihi Alaihi As-Sholah wa As-salam hal 25-26

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url