Idealnya, tempat penampungan air untuk bersuci memiliki volume minimal dua kulah (± 216 liter). Namun, bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan ruang atau biaya, ember kecil sering menjadi pilihan. Masalah muncul saat mandi besar: apakah air di dalam ember tetap suci mensucikan jika terkena percikan air bekas mandi?

Untuk menjawabnya, kita perlu memahami dua jenis air dalam kasus ini:

  1. Air Mutlak: Air suci mensucikan yang ada di dalam ember.

  2. Air Musta’mal: Air sisa basuhan mandi wajib yang memercik masuk ke ember.

Syarat Air Dikatakan Musta’mal

Berdasarkan kitab Taqrirat as-Sadidah (hal. 59-60), sebuah air dikategorikan musta’mal jika memenuhi empat syarat:

معنى المستعمل : ما استُعمل في فرض الطهارة. شروط الماءِ المُستَعْمَلِ أربعة : ١ - أن يكون قليلاً، أي : دونَ القُلتَين . ٢ - أن يُستعمَلَ فيما لا بدَّ منه أي فرضِ الطَّهارة، رفع الحدث أو إزالة النجس. ٣ ـ أن ينفصل عن العضو فما دام متردداً على العضو فلا يُسمى مستعمل. ٤ـ أن لا ينوي ،الاغتراف فإذا نوى الاغتراف لم يكن الماء الباقي مستعملاً .

Artinya: "Air musta'mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci wajib. Syaratnya ada empat: (1) Airnya sedikit (kurang dari dua kulah). (2) Digunakan untuk hal wajib (mengangkat hadats atau najis). (3) Telah terpisah dari anggota tubuh. (4) Tidak ada niat ightirof (menciduk)."

Hukum Percampuran Air Mutlak dan Musta’mal

Dalam fiqih, jika air musta’mal masuk ke air mutlak, ia disebut Mutaghayyir Taqdiri (perubahan asumsi). Kitab Fathul Qarib menjelaskan:

ومن هذا القسم الماءُ المتغير أحدُ أوصافه (بما) أي بشيء (خالطه من الطاهرات) تغيُّرًا يمنع إطلاق اسم الماء عليه؛ فإنه طاهر غير طهور، حسيا كان التغير أو تقديريا... فإن لم يمنع اطلاق اسم الماء عليه... فلا يسلب طهوريته؛ فهو مطهر لغيره.

Kuncinya adalah:

  • Jika perubahan tersebut merusak kemutlakan nama air (tidak lagi disebut air murni), maka statusnya suci tapi tidak mensucikan.

  • Jika perubahannya hanya sedikit dan tidak merusak kemutlakan nama air, maka statusnya tetap suci mensucikan.

Cara Mengukur Perubahan (Metode Taqdir)

Karena air musta’mal dan air mutlak memiliki sifat yang sama (bening, tak berbau), maka digunakan tolok ukur benda lain (Tusyikh ala Fathil Qorib, hal. 22):

  • Rasa: Diasumsikan menggunakan rasa buah delima.

  • Warna: Diasumsikan menggunakan warna perasan anggur.

  • Bau: Diasumsikan menggunakan aroma minyak ladzan.

Contoh: Jika segelas air musta’mal masuk ke ember, bayangkan jika yang masuk itu adalah segelas perasan anggur. Apakah warna air di ember berubah? Jika menurut perkiraan tidak berubah, maka air tetap suci mensucikan.

Pendapat Terkuat dalam Madzhab Syafi'i

Imam Nawawi dalam Raudhlatu at-Thalibin (Juz 1, hal. 12) menegaskan:

أَصَحُّهُمَا: إِنْ كَانَ الْمَائِعُ قَدْرًا لَوْ خَالَفَ الْمَاءَ فِي طَعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رِيحٍ لَتَغَيَّرَ التَّغَيُّرَ الْمُؤَثِّرَ، سَلَبَ الطَّهُورِيَّةَ، وَإِنْ كَانَ لَا يُؤَثِّرُ مَعَ تَقْدِيرِ الْمُخَالِفَةِ، لَمْ يَسْلُبْ

Kesimpulan: Selama volume percikan air musta’mal itu sangat sedikit dibandingkan air di ember, maka secara logika "perkiraan" tidak akan mengubah sifat air. Jadi, air tersebut tetap suci mensucikan.

Solusi Praktis bagi Orang Awam

Ada dua kemudahan yang ditawarkan oleh para ulama:

Pertama, hukum mengira-ngira adalah Sunnah: Syekh Nawawi dalam Kasyifatus Saja menjelaskan bahwa melakukan perbandingan di atas hukumnya sunnah, bukan wajib.

 واعلم أن تقدير المذكور منذوب لا واجب فلو هجم شخص واستعمل الماء أجزأ ذلك إذ غاية الأمر انه شاك في التغير المضر والأصل عدمه

"Jika seseorang langsung menggunakan air tersebut tanpa mengira-ngira, maka sah. Karena status asalnya adalah suci, dan keraguan tidak menghilangkan keyakinan."

Pendapat Kedua (Lebih Mudah): Cukup dengan melihat volume. Jika air musta’mal yang masuk lebih sedikit volumenya daripada air di ember, maka air tersebut tetap suci mensucikan.

Kesimpulan Akhir

Air dalam ember yang terkena percikan mandi wajib tetap suci mensucikan dan bisa terus digunakan untuk melanjutkan mandi. Hal ini karena volume percikan biasanya sangat kecil sehingga tidak mengubah sifat asli air.