Abu Thalhah al-Anshari, atau yang dikenal dengan nama asli Zaid bin Sahl al-Khazraji, adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad dari golongan Anshar yang dikenal atas sifat kedermawanannya. Ia sering menunjukkan keikhlasan dan kemurahan hati melalui sedekah. Salah satu momen penting dalam hidupnya adalah saat turunnya surah Ali Imran ayat 92, yang mengajarkan pentingnya memberikan sesuatu yang dicintai untuk mencapai kebajikan sejati.
"Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (Q.S. Ali Imran: 92)
Memberi Sedekah dari Harta yang Paling Dicintai
Dalam kitab Tafsir al-Munir, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa ayat tersebut terkait dengan sahabat Nabi yang memberikan sesuatu yang sangat berharga baginya sebagai sedekah. Berdasarkan riwayat Anas bin Malik, Abu Thalhah adalah salah satu orang terkaya di Madinah dengan kebun kurma yang sangat luas. Di antara harta kekayaannya, ia paling mencintai kebun Bairuha’, yang letaknya berdekatan dengan Masjid Nabawi. Rasulullah sering mengunjungi kebun ini dan menikmati airnya yang sejuk.
Ketika ayat di atas diturunkan, Abu Thalhah segera menemui Nabi Muhammad dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya memiliki sebuah kebun yang sangat saya cintai, yaitu Bairuha’. Kebun ini saya serahkan untuk jalan Allah sebagai sedekah. Gunakanlah kebun ini sesuai petunjuk Allah.”
Nabi Muhammad memuji keikhlasan Abu Thalhah dan bersabda, “Hebat, hebat, dan baik sekali. Itu adalah harta yang membawa keuntungan. Aku menyarankan agar kamu memberikannya kepada kerabatmu.” Menanggapi saran tersebut, Abu Thalhah pun menyedekahkan kebun itu kepada keluarganya dan sepupu-sepupunya, termasuk Hasan bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab.
Tindakan Abu Thalhah ini mencerminkan sebuah teladan luar biasa, yakni bersedekah dengan harta terbaik yang dimilikinya. Ia menunjukkan keikhlasan sejati dalam mendahulukan keridaan Allah di atas kecintaannya terhadap dunia.
Keramahan Abu Thalhah dalam Menjamu Tamu
Selain dermawan dalam bersedekah, Abu Thalhah juga dikenal karena keramahan dan kesungguhannya dalam menjamu tamu. Sikap ini juga disinggung dalam surah Al-Hasyr ayat 9, yang memuji orang-orang Anshar atas kemurahan hati mereka terhadap para Muhajirin.
"Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.S. Al-Hasyr: 9)
Abu Thalhah tidak hanya mengutamakan tamunya, tetapi juga bersedia berbagi makanan meskipun dirinya dalam keadaan kekurangan. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa ia rela berpuasa agar tamunya dapat makan. Rasulullah pernah menyampaikan bahwa Allah memuji tindakan Abu Thalhah ini sebagai amal yang sangat mulia.
Pelajaran dari Kehidupan Abu Thalhah
Kisah Abu Thalhah memberikan pelajaran tentang keikhlasan dan pengorbanan dalam berbagi. Memberikan harta terbaik untuk kepentingan orang lain adalah wujud kebajikan yang luar biasa, sebagaimana disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 92. Manusia pada dasarnya mencintai harta benda, namun Abu Thalhah mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati ada dalam keridaan Allah, bukan dalam kekayaan duniawi.
Selain itu, sikapnya yang selalu mengutamakan orang lain, baik melalui sedekah maupun menjamu tamu, menunjukkan pentingnya nilai-nilai kebersamaan dan tolong-menolong dalam Islam. Sebagai seorang muslim, kita diajak untuk meneladani sifat ini dengan memberikan yang terbaik bagi orang lain, tanpa pamrih, dan semata-mata demi mengharapkan rida Allah.
Kisah hidup Abu Thalhah adalah inspirasi abadi tentang ketulusan hati, kedermawanan, dan cinta kepada sesama.
0Komentar