Hari ini, siapa pun yang aktif di media sosial pasti sering dengar kata investasi. Mulai dari saham, emas, reksa dana syariah, sampai bisnis kecil-kecilan—semuanya berbicara tentang bagaimana uang bisa “beranak pinak”. Tapi di balik semua tren itu, pernah nggak sih kita berpikir: bagaimana sebenarnya Islam memandang investasi? Apakah sekadar strategi menambah harta, atau ada makna spiritual di baliknya?
Dari Istilah Modern ke Akar Fikih Klasik
Dalam bahasa Arab, investasi disebut al-Istitsmar, yang secara harfiah berarti “pertambahan harta”. Tapi menariknya, istilah ini sebenarnya belum dikenal dalam literatur fikih klasik. Para ulama zaman dulu tidak menggunakan kata Istitsmar, melainkan istilah lain seperti al-Istinma’, at-Tanmiyah, dan an-Nama’—yang semuanya merujuk pada upaya menumbuhkan dan mengembangkan harta.
Sebagaimana dijelaskan oleh ulama besar Abu Bakar Ibn Mas’ud al-Kasani, “Istilah seperti al-Istinma’, at-Tanmiyah, dan an-Nama’ menunjukkan usaha meningkatkan harta sesuai syariat.” Artinya, sejak dulu Islam sudah mengenal konsep investasi, hanya saja bahasanya berbeda dengan istilah ekonomi modern.
Seiring berkembangnya zaman, para ekonom Muslim mencoba merumuskan kembali makna al-Istitsmar dalam konteks ekonomi modern. Misalnya, menurut Nashr Farid, investasi adalah “usaha untuk mengembangkan dan mengelola harta dengan cara yang dihalalkan oleh Allah, baik dilakukan oleh individu maupun kelompok.” Sedangkan Syauqi Abduh As-Sahi menegaskan bahwa al-Istitsmar adalah “pengelolaan modal secara produktif sesuai prinsip syariat.”
Dari dua definisi ini, bisa disimpulkan bahwa investasi dalam Islam bukan sekadar aktivitas finansial. Ia adalah bagian dari ibadah muamalah—cara seorang Muslim mengelola amanah berupa harta agar berkembang secara halal dan memberi manfaat bagi banyak orang.
Investasi: Aktivitas Duniawi Bernilai Ibadah
Kalau ditanya: apakah investasi disyariatkan dalam Islam? Jawabannya: iya, dan dalilnya cukup banyak.
Salah satunya terdapat dalam QS. Hud ayat 61, di mana Allah berfirman:
وَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
“Dialah yang menciptakan kamu dari bumi dan meminta kamu memakmurkannya.”
Ayat ini menegaskan bahwa manusia tidak hanya ditugasi hidup di bumi, tapi juga diminta memakmurkannya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa memakmurkan bumi mencakup semua aktivitas produktif: membangun, berdagang, bertani, hingga berinvestasi—selama semua itu dilakukan sesuai aturan Allah.1
Dalil lain ada dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 10:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”
Ayat ini tidak hanya mendorong umat Islam untuk bekerja, tapi juga menegaskan bahwa mencari rezeki, termasuk melalui investasi, adalah bagian dari ibadah selama dilakukan dengan mengingat Allah. Jadi, semangat bekerja dan berinvestasi tidak bertentangan dengan spiritualitas—justru sejalan dengan perintah untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat.2
Rasulullah SAW pun memberikan contoh lewat sabdanya:
لَيْسَ مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
“Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau menabur benih, lalu burung, manusia, atau binatang memakan sebagian darinya, melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari)3
Hadis ini sederhana tapi dalam. Nabi tidak hanya mendorong produktivitas, tapi juga menunjukkan bahwa setiap investasi yang membawa manfaat sosial—baik langsung maupun tidak—bernilai sedekah. Dengan kata lain, investasi yang benar bisa jadi ladang pahala.
Prinsip-Prinsip Investasi dalam Islam
Islam tidak hanya menganjurkan umatnya berinvestasi, tapi juga memberikan panduan agar kegiatan itu tetap berada di jalur yang halal dan berkah. Setidaknya ada empat prinsip utama yang perlu dipegang:
1. Prinsip Akidah
Seorang Muslim harus sadar bahwa semua harta pada hakikatnya milik Allah. Kita hanya diberi amanah untuk mengelolanya. Maka, tujuan utama berinvestasi bukan semata-mata mengejar profit, tapi mencari rida Allah. Kalau niatnya lurus, keuntungan yang didapat pun insyaallah penuh keberkahan.
2. Prinsip Etika
Etika dalam investasi Islam menekankan kejujuran, amanah, menepati janji, dan tidak merugikan orang lain. Dalam praktiknya, ini berarti tidak boleh ada tipu daya, manipulasi data, atau strategi yang mengeksploitasi pihak lain demi keuntungan pribadi. Dalam dunia yang serba cepat dan kompetitif, menjaga nilai-nilai ini memang tidak mudah, tapi di situlah letak keistimewaan seorang Muslim.
3. Prinsip Sosial
Investasi yang Islami tidak boleh menimbulkan kerusakan sosial. Misalnya, menghindari bisnis berbasis riba, perjudian, atau produk haram. Selain itu, investasi juga sebaiknya memberi manfaat bagi masyarakat, seperti membuka lapangan kerja, mendukung UMKM, atau berkontribusi pada sektor produktif. Intinya, investasi bukan hanya tentang “berapa yang kita dapat,” tapi juga “berapa yang bisa kita beri.”
4. Prinsip Ekonomi
Dari sisi ekonomi, Islam mendorong umatnya untuk berinvestasi dengan perencanaan matang, strategi efisien, dan pengelolaan yang bijak. Bukan asal ikut tren atau tergoda iming-iming cepat kaya. Rasulullah SAW mengajarkan agar setiap keputusan finansial diambil dengan ilmu, kesabaran, dan tanggung jawab.
Menjadi Investor Muslim di Era Modern
Di era digital, akses terhadap dunia investasi makin mudah. Dari ponsel saja, kita bisa membeli saham syariah, logam mulia, atau reksa dana halal. Tapi kemudahan itu juga membawa tantangan: kita harus semakin kritis dan selektif. Jangan sampai karena tergiur cuan, kita melanggar batas-batas syariat.
Menjadi investor Muslim bukan berarti anti terhadap inovasi atau teknologi. Justru sebaliknya, Islam mendorong umatnya untuk adaptif dan produktif selama tetap berpegang pada nilai-nilai etika. Yang penting adalah memastikan bahwa setiap langkah investasi kita selaras dengan prinsip keadilan, kebermanfaatan, dan tanggung jawab sosial.
Penutup: Cuan Berkah, Dunia dan Akhirat
Pada akhirnya, investasi dalam Islam bukan sekadar aktivitas ekonomi, tapi juga bentuk pengabdian kepada Allah. Saat seorang Muslim menanam modal, mengelola usaha, atau mengembangkan aset dengan cara halal, sesungguhnya ia sedang beribadah. Keuntungan finansial hanyalah bonus; yang lebih penting adalah keberkahan hidup yang mengiringinya.
Maka, kalau hari ini banyak orang berbicara tentang investasi demi kebebasan finansial, seorang Muslim seharusnya melangkah lebih jauh: berinvestasi demi keberkahan. Karena dalam Islam, cuan yang berkah lebih baik daripada profit besar tanpa nilai ibadah.
- Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1998, Jilid IV, hlm. 286. ↩
- Al-Qurṭubi, Al-Jami‘ li Aḥkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Miṣriyyah, Cet. II, 1964, Jil. XVIII, hlm. 108. ↩
- al-Bukhari, Ṣaḥiḥ al-Bukhari (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), Kitab al-Muzara‘ah, no. 2320. ↩

0Komentar