Ibanatul Ahkam Bab 1 Thaharah

1- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي الْبَحْرِ : "هُوَ الطُّهُورُ مَاؤُهُ، الْجِلُّ مَيْتَتُهُ. أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ، وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَاللَّفْظُ لَهُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتَّرْمِذِيُّ. وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ.

1. Dari Abu Hurairah (r.a) bahwa Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda mengenai laut: "Laut itu airnya suci lagi menyucikan, halal bangkainya." (Disebutkan oleh al-Arba'ah dan Ibn Abu Syaibah, sedangkan lafaznya menurut riwayat Ibn Abu Syaibah. Ibn Khuzaimah dan Imam al-Tirmizi menilainya sebagai sahih. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Malik, Imam al-Syafi'i, dan Imam Ahmad)

Makna Hadis

Hadis ini merupakan salah satu cara bersesuci yang mengandungi banyak hukum dan kaedah penting. Di dalam laut banyak terdapat hewan yang kadang kala ada yang mati, sedangkan hukum bangkainya pula adalah najis. Rasulullah (s.a.w) memberitahu mereka bahwa hukum bangkai jenis ini berbeza dengan bangkai- bangkai yang selainnya. Baginda menegaskan demikian agar mereka tidak berprasangka bahwa air laut menjadi najis karena ada bangkai hewan laut yang mati di dalamnya, dan supaya mereka tidak mempunyai anggapan bahwa bangkai hewan laut itu najis.

Dapat disimpulkan bahwa hadis ini merupakan jawaban atas persoalan seorang sahabat yang bertanya dengan konteks seperti berikut: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami biasa menggunakan jalan laut dan kami hanya mampu membawa sedikit air tawar. Apabila air tawar yang kami bawa itu digunakan untuk berwuduk, niscaya kami akan kehausan, bolehkah kami berwuduk menggunakan air laut?" Kemudian Rasulullah (s.a.w) memberikan pemahaman kepada mereka bahwa air laut itu suci menyucikan (dapat digunakan untuk bersesuci). Nabi (s.a.w) menambahkan hukum lain yang tidak ditanyakan, padahal itu semestinya turut ditanya namun tidak ditanya karena kedudukan hukumnya yang tersembunyi. Hal tersebut ialah bangkai hewan yang ada di dalam laut adalah halal dan tidak perlu disembelih lagi.

Analisis Lafad

الكتاب menurut bahasa adalah himpunan dan kumpulan, sedangkan menurut istilah pula adalah nama kepada sejumlah pemasalahan ilmiah yang pada kebiasaannya terdiri dari beberapa bab, beberapa fasal, dan beberapa masalah penting lain.
الطهارة menurut bahasa adalah kebersihan dan bebas dari segala kotoran, sedangkan menurut syarak pula ialah gambaran hukum yang pengertiannya menunjukkan bebas dari hadas dan najis.
الباب menurut bahasa adalah tempat untuk masuk dan keluar, sedangkan menurut istilah dalam kitab ini pula adalah kata kiasan. Pengertian menyelami sesebuah permasalahan khusus diserupakan dengan memasuki tempat yang bersifat inderawi, kemudian digunakan perkataan “الباب” (pintu) yang bermaksud nama sebuah himpunan permasalahan ilmiah, memandangkan adanya kaitan tertentu antara kedua-dua pengertian tersebut.
المياه bentuk jamak “ماء” bentuk asalnya adalah “ٙموه”. Oleh itu, huruf ha‟ dikekalkan ketika dalam bentuk jamak, sebab bentuk jamak mengembalikan segala sesuatu kepada bentuk asal katanya. Pengertian lafaz “ماء “ٓialah nama jenis yang pengertiannya mencakupi sesuatu yang sedikit dan sesuatu yang banyak. Manakala maknanya pula ialah benda cair yang jernih atau bening yang dilihat berwarna mengikuti warna wadahnya, yaitu air.
نركب البحر kami biasa menaiki laut, maksudnya memakai jalan laut dengan naik perahu. Pengertian al-bahr dalam hadis ini ialah air laut bukannya air danau besar atau sungai besar yang juga termasuk ke dalam pe- ngertian ini. Dikatakan demikian karena itulah yang ditanyakan memandangkan rasanya asin, pahit dan berbau hanyir.
نحمل معنا القليل من الماء sedangkan kami hanya membawa sedikit persediaan air, maksudnya air tawar.
عطشنا niscaya kami akan mengalami kehausan karena air tawar kami habis digunakan untuk bersuci.
أفنتوضأ به Bolehkah kami berwuduk dengan menggunakan air laut? Huruf fa' adalah huruf 'athaf yang berkaitan dengan lafaz yang tidak disebutkan; bentuk lengkapnya ialah “أ هو طهور فنتوضأبه ؟" Ertinya "apakah air laut itu suci lagi menyucikan, lalu kami dapat berwuduk dengannya?" Sesungguhnya mereka tidak berani bersuci menggunakan air laut lantaran adanya alasan-alasan tadi, yaitu karena airnya asin, pahit, dan berbau hanyir. Air yang memiliki ciri-ciri seperti itu tidak dapat diminum, lalu mereka meyakini bahwa air yang tidak dapat diminum juga tidak dapat digunakan untuk bersuci.
هو الطهور ماؤه air laut itu suci lagi menyucikan. Menyebut lafaz "ماؤه" memastikan bahwa dhamir yang ada pada lafaz “هو” merujuk kepada laut (al-bahr). Dhamir "هو" berkedudukan sebagai mubtada; lafaz "الطهور" berkedudukan sebagai mubtada'yang kedua, dan lafaz "ماؤه" menjadi khabar kepada mubtada'yang kedua, sedangkan jumlah yang terdiri dari mubtada' kedua dengan khabar-nya berkedudukan sebagai khabar kepada mubtada'yang pertama. Mubtada'dan khabar semuanya dalam bentuk maʼrifah; ungkapan seperti ini menunjukkan makna qasr, yaitu qasr sifat ke atas mausuf, apabila ditinjau dari segi mukhathab dinamakan qasr ta'yin (penentuan). Ini karena orang yang bertanya merasa ragu sama boleh atau tidak berwuduk dengan air laut, lalu Rasulullah (s.a.w) menentukan bahwa berwuduk dengan air laut itu adalah dibolehkan menerusi sabdanya: "Laut itu airnya suci lagi menyucikan."
الحل ميتته yakni halal bangkai hewannya meskipun tanpa disembelih. Kalimat ini tidak di-'athafkan kepada kalimat sebelumnya karena adanya munasabah (kaitan) di antara kedua-dua kalimat dalam hukum dan jika menggunakan 'athaf akan memberikan pengertian yang berlainan.

Unsur Fikih

  1. Orang yang tidak mengetahui suatu menanyakannya kepada orang yang berilmu. permasalahan dikehendaki
  2. Dibolehkan menggunakan laut sebagai alat pengangkutan meskipun bukan untuk tujuan ibadah, karena si penanya sudah terbiasa menggunakan jalan laut untuk menangkap ikan.
  3. Apabila khuatir akan mengalami kehausan, dibolehkan tidak menggunakan air minum untuk bersuci karena adanya pengakuan dari Rasulullah (s.a.w) terhadap si penanya untuk menjimat air minum dan tidak menggunakannya untuk bersuci.
  4. Air laut suci lagi menyucikan dengan pengertian dapat menghilangkan hadas dan dapat membersihkan najis atau kotoran. Ikan tidak perlu disembelih karena syariat telah menghalalkan bangkainya sama dengan ikan hewan laut yang lain.
  5. Halal memakan bangkai hewan laut yang hanya hidup di dalamnya.
  6. Dibolehkan menjawab lebih banyak dari pertanyaan yang diajukan bagi menyempurnakan faedah dan untuk memberikan pengetahuan berkaitan perkara yang tidak ditanyakan.

Periwayat Hadis

Orang yang meriwayatkan hadis ini ialah Abu Hurairah (r.a), nama aslinya adalah 'Abdurrahman ibn Shakhr al-Yamani al-Dausi. Beliau masuk Islam pada tahun ke-7 Hijriah dan meriwayatkan sebanyak 5,374 hadis dan termasuk sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Beliau meninggal dunia pada tahun 59 Hijriah dengan usia 78 tahun dan dimakamkan di Madinah.

Orang yang Menyebutkan Hadis

Mereka adalah al-Arba'ah, yaitu Abu Dawud, al-Nasa'i, al-Tirmizi, dan Ibn Majah. Ibn Abu Syaibah, nama aslinya adalah Abu Bakar 'Abdullah ibn Abu Syaibah, penulis kitab al-Musnad. Beliau adalah salah seorang di antara guru Imam al-Bukhari, Imam Abu Dawud dan Imam Ibn Majah. Al-Dzahabi mengatakan bahwa beliau adalah al-Hafiz yang tiada duanya dan orang yang dapat dijadikan sebagai rujukan di samping sangat ‘alim.

Ibn Khuzaimah, nama aslinya ialah al-Hafiz al-Kabir Imam al-A'immah Syeikh al-Islam Abu Bakar Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaimah. Keimanan dan kedudukan al-Hafiz pada zamannya di Khurrasan sememangnya ada dalam genggaman tangannya.

Imam Malik ibn Anas ibn Malik ibn Anas al-Ashbahi al-Himyari dan julukannya adalah Abu 'Abdullah al-Madani. Beliau adalah salah seorang tokoh Islam, imam kepada para imam, dan imam kota Hijrah (Madinah). Imam al-Syafi'i banyak mengambil ilmu darinya. Imam al-Syafi'i berkata: "Imam Malik adalah Hujjatullah ke atas makhluk-Nya setelah para tabi'in." Beliau mengambil riwayat dari Nafi' -pembantu Ibn ‘Umar- dan al-Zuhri serta lain-lain dari kalangan tabi'in dan para pengikut tabi'in. Dilahirkan pada tahun 95 Hijriah dan meninggal dunia pada tahun 179 Hijriah dalam umur 84 tahun dan dikebumikan di al-Baqi'.

Imam al-Syafi'i, nama julukannya yaitu Abu 'Abdullah, sedangkan nama aslinya adalah Muhammad ibn Idris ibn al-'Abbas ibn 'Utsman al-Qurasyi al- Mutthalibi al-Hijazi al-Makki dan nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada 'Abd Manaf. Beliau dilahirkan pada tahun 150 Hijriah di Ghazzah dan menurut satu pendapat di ‘Asqalan, hidup sebagai anak yatim di bawah asuhan ibunya dalam kehidupan yang serba sederhana dan keadaan yang susah. Sejak kecil, beliau belajar kepada ramai ulama. Beliau meninggalkan kota Mekah menuju Madinah untuk belajar kepada Imam Malik. Beliau kemudian berangkat ke Iraq hingga namanya terkenal di seluruh negeri Islam. Setelah itu, beliau berangkat menuju Mesir pada tahun 199 Hijriah dan meninggal dunia di Mesir pada tahun 204 Hijriah, dalam usia 54 tahun dan dimakamkan di Mesir.

________________


۲- عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ.

2. Dari Abu Sa'id al-Khudri (r.a) bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya air itu suci lagi menyucikan, tiada sesuatu apa pun yang membuatnya menjadi najis." (Disebut oleh al-Tsalatsah dan dinilai sahih oleh Imam Ahmad)

Makna Hadis

Air tidak menjadi najis karena ada sesuatu yang jatuh ke dalamnya. Hadis ini menceritakan kisah sumur Budha'ah, yaitu sumur yang sumur yang menjadi tempat pembuangan kain-kain bekas mengelap darah haid, bangkai anjing, dan segala sesuatu yang berbau busuk. Makna yang dimaksudkan di sini ialah masyarakat sentiasa membuang benda-benda tersebut dari belakang rumah mereka. Sampah sarap ini kemudian dibawa oleh banjir dan hanyut hingga sampai ke sumur Budha'ah tersebut karena sumur itu terletak di dataran yang rendah. Airnya banyak sehingga ia tidak tercemar oleh benda-benda kotor tersebut. Para sahabat kemudian bertanya kepada Rasulullah (s.a.w) mengenai kedudukan air Budha'ah itu supaya mereka mengetahui hukumnya sama ada suci ataupun najis. Rasulullah (s.a.w) lalu menjawab bahwa air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang membuatnya menjadi najis.

Analisa Lafadz

طهور suci lagi menyucikan.
لا ينجسه شيئ tidak ada sesuatu pun yang membuatnya menjadi najis selagi airnya tidak berubah, namun jika airnya berubah, maka ia menjadi najis berdasarkan ijmak. Ungkapan ini dinamakan 'am makhsus, sebab apabila air berubah, maka ia sudah keluar dari batasan sebagai air yang suci dan tidak mempunyai sifat menyucikan lagi.
شيئ failnya lafaz ينجسه
صححه أحمد hadis ini dinilai sahih oleh Imam Ahmad.

Unsur Fikih

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum air apabila bercampur najis, sedangkan salah satu sifatnya tidak ada yang berubah.

Imam Malik berpendapat bahwa air tersebut dapat menyucikan, sama ada sedikit ataupun banyak, karena berlandaskan kepada hadis ini dan beliau memutuskan tidak lagi suci apabila air tersebut sudah berubah salah satu sifatnya karena najis itu. 

Madzhab al-Syafi'i, Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa air itu terbahagi kepada air sedikit yang tercemar oleh najis secara mutlak dan air banyak yang tidak terpengaruh oleh najis kecuali jika salah satu dari ketiga-tiga sifatnya berubah, yaitu warna, rasa atau baunya. Akan tetapi, mereka pun masih berselisih pendapat mengenai batasan air sedikit dan air banyak itu. 

Madzhab al-Syafi'i dan mazhab Hanbali mengatakan bahwa air sedikit itu ialah air yang jumlahnya kurang dari dua qullah,' sedangkan air banyak ialah air yang jumlahnya mencapai dua qullah atau lebih. Mereka berpendapat demikian karena berpegang kepada hadis yang menyatakan dua qullah, lalu mereka menjadikannya sebagai mukhasis (yang mengkhususkan) hadis yang bermakna mutlaq (umum) ini. Madzhab Hanafi mengatakan bahwa air sedikit ialah air yang kurang dari ‘asyrun fi ‘asyrin, sedangkan air banyak ialah kebalikannya.

'Asyrun fi ‘asyrin ertinya ialah air yang banyak di mana apabila digerakkan oleh seseorang pada salah satu tepinya, maka riaknya tidak dapat mencapai ke tepi yang sebelahnya.

Periwayat Hadis

Abu Sa'id al-Khudri (r.a) ialah Sa'ad ibn Malik ibn Sinan al-Khudri. Beliau turut serta ketika berbaiat kepada Nabi (s.a.w) di bawah pohon dan turut menyertai setiap peperangan sesudah perang Uhud. Beliau termasuk salah seorang ulama dari kalangan sahabat dan meriwayatkan sebanyak 1,170 hadis, meninggal dunia pada tahun 74 Hijriah dalam usia 86 tahun.

Orang yang Menyebutkan Hadis

Al-Tsalatsah, yaitu Imam Ahmad, Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.

_________________

۳- عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ، إلا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ   وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ". أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَه وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ 

وَلِلْبَيْهَقِيّ: "الْمَاءُ طَهُورٌ إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ، أَوْ طَعْمُهُ، أَوْ لَوْنُهُ، بِنَجَاسَةٍ تَحْدُث فِيْهِ

3. Dari Abu Umamah al-Bahili (r.a) bahwa Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda: "Sesungguhnya tidak ada sesuatu apa pun yang dapat membuat air itu menjadi najis kecuali dicemari oleh sesuatu yang menimbulkan perubahan pada bau, rasa, dan warnanya." (Disebut oleh Ibn Majah dan dinilai dha'if oleh Abu Hatim)

Menurut riwayat al-Baihaqi: “Air itu suci dan menyucikan kecuali jika berubah bau, rasa, atau warnanya karena dicemari najis."

Makna Hadis

Air yang banyak akan menjadi najis apabila dicemari oleh najis dan salah satu dari tiga sifatnya berubah. Apa yang dimaksudkan dengan sifat air ialah warna, rasa, dan baunya. Air dianggap suci dan menyucikan apabila najis yang jatuh ke dalamnya tidak merubah salah satu dari sifatnya itu.

Analisa Lafad

غلب على ريحه وطعمه ولونه maksudnya ialah salah satu sifatnya berubah, bukan semuanya, dan perubahan itu disebabkan oleh najis yang mencemarinya. Dari kalimat terakhir ini dapat disimpulkan bahwa apabila berubah karena sesuatu yang suci, seperti yang disebut di dalam riwayat lain, maka air tersebut tidak menjadi najis, sebaliknya tetap kekal suci, namun tidak menyucikan. Air seperti itu biasanya digunakan untuk minum dan bukan digunakan untuk ibadah seperti berwuduk dan mandi junub.
تحدث فيه yang terjatuh ke dalamnya atau yang mencemarinya.
ضعفه Abu Hatim menilai hadis ini sebagai dha'if karena berasal dari ri- wayat Rusydin ibn Sa'ad. Pada mulanya beliau adalah seorang yang soleh dalam beragama, kemudian beliau mengalami jadzab (gila) orang yang soleh hingga para ulama hadis tidak lagi menerima riwayatnya.

Unsur Hadis

Para ulama bersepakat bahwa air itu apabila dicemari atau dijatuhi najis hingga merubah salah satu dari sifatnya, yakni warna, rasa, atau baunya, maka air itu menjadi najis.

Periwayat Hadis

Abu Umamah, nama aslinya ialah Shada ibn ‘Ajlan al-Bahili, seorang sahabat terkenal, meriwayatkan sebanyak 250 hadis. Beliau tinggal di Mesir, kemudian pindah ke Himsha hingga meninggal dunia pada tahun 81 Hijriah. Beliau adalah sahabat yang paling akhir meninggal dunia di negeri Syam.

Orang yang Menyebutkan Hadis

Abu Hatim al-Razi, gelarnya al-Imam dan al-Hafiz, nama aslinya adalah Muhammad ibn Idris Ibn al-Mundzir al-Hanzhali, salah seorang tokoh ulama terkemuka. Dilahirkan pada tahun 195 Hijriah. Imam al-Nasa'i memberikan keterangan mengenainya bahwa beliau adalah seorang yang tsiqah. Beliau meninggal dunia pada tahun 277 Hijriah pada umur 82 tahun.

Al-Baihaqi, gelarnya adalah al-Hafiz al-'Allamah, seorang syeikh di Khurrasan. Nama aslinya adalah Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain, banyak menulis kitab-kitab yang tiada tandingannya, hingga jumlah karya tulisannya mencapai lebih kurang seribu juzuk. Beliau adalah seorang yang warak, tak- wa serta bersifat zuhud. Pernah mengunjungi Hijaz, Iraq dan Baihaq, nama se- buah kota berhampiran Naisabur. Lahir pada tahun 384 Hijriah dan meninggal dunia pada tahun 454 Hijriah.

____________________

٤- عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ". وَفِي لَفْظ: "لَمْ يَنْجُسَ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ.

4. Dari 'Abdullah ibn 'Umar (r.a) bahwa Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda: "Apabila air yang banyaknya dua qullah, maka ia tidak membawa najis." Menurut lafaz yang lain: "tidak najis." (Disebut oleh al-Arba'ah, dan dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah, al-Hakim dan Ibn Hibban).

Makna Hadis

Berapa banyak Rasulullah (s.a.w) menjawab orang yang bertanya kepadanya dengan jawapan yang jelas dan tepat, supaya menjadi pelita yang dapat digunakan sebagai petunjuk untuk sepanjang masa. Ini termasuk sabda yang memisahkan antara perkara yang hak dan yang batil, dan merupakan tanda kenabiannya.

Rasulullah (s.a.w) pernah ditanya mengenai air yang ada di tengah padang pasir, yaitu pada dataran rendah dan tempat genangan air serta tempat yang selainnya. Air seperti itu biasanya tidak diketahui takaran dan jumlahnya, lalu Nabi (s.a.w) memberitahu bahwa air itu apabila jumlahnya mencapai dua qullah tidak membawa najis, ertinya tidak menerima najis, bahkan najis itu tidak mempengaruhi kesuciannya.

قلتين bentuk tatsniyah dari lafaz qullah yang ertinya wadah besar menurut buatan Hajar, beratnya lebih kurang lima ratus kati Iraq sama dengan 446 tiga pertujuh kati Mesir, atau 93 sha'tiga mudd atau lima qirath Hijaz atau sepuluh shafihah.
لم يحمل الخبث tidak mengandung najis.
لم ينجس tidak terkena najis, atau najis tidak dapat mempengaruhi kesuciannya.

Unsur Fikih

  1. Bekas jilatan binatang dan hewan buas pada kebanyakannya tidak terlepas dari najis, sebab biasanya hewan buas apabila datang ke kolam untuk meminum air, ia menceburkan diri ke dalam kolam tersebut, lalu kencing di dalamnya, bahkan ada ketikanya tubuh hewan itu tidak terlepas dari bekas kencing dan kotorannya.
  2. Berdasarkan hadis ini, Imam al-Syafi'i dan Imam Ahmad membuat suatu ketetapan bahwa air banyak itu ialah air yang jumlahnya mencapai dua qullah dan tidak ada sesuatu pun yang membuatnya menjadi najis selagi warna, bau atau rasanya tidak berubah.

Periwayat Hadis

'Abdullah ibn 'Umar ibn al-Khatthab al-'Adawi, nama julukannya adalah Abu 'Abdurrahman al-Makki. Beliau masuk Islam sejak usia kanak-kanak lagi di Mekah, turut berhijrah bersama ayahnya, 'Umar (r.a) dan turut menyertai perang al-Khandaq serta Bai’at al-Ridhwan. Hadis yang diriwayatkannya berjumlah 1,630. Anak-anaknya mengambil riwayat hadis darinya. Mereka adalah Salim, Hamzah dan Ubaidillah. Demikian pula dengan tabi'in yang jumlah mereka pun ramai. Ibn 'Umar (r.a) ini adalah seorang yang zuhud, warak dan seorang imam yang memiliki pengetahuan yang luas serta ramai pengikutnya. Beliau meninggal dunia di Mekah pada tahun 94 Hijriah dan dikebumikan di Mekah.

Orang yang Menyebutkan Hadis

Al-Hakim adalah imam para muhaqqiqin, julukannya adalah Abu 'Abdullah, sedangkan nama aslinya adalah Muhammad ibn ‘Abdullah al-Naisaburi dan dikenali dengan Ibn al-Bai'. Beliau lahir pada tahun 321 Hijriah. Ketika berusia dua puluh tahun, beliau berangkat ke Iraq, lalu melaksanakan ibadah haji. Setelah itu, beliau mengelilingi Khurrasan dan negeri-negeri Asia Tengah. Beliau telah mendengar (hadis) dari dua ribu orang syeikh dan telah mengambil hadis darinya al- Daruquthni, Imam al-Baihaqi, dan ramai ulama yang lain. Beliau seorang yang bertakwa, taat dalam menjalankan ajaran agama dan mempunyai banyak karya tulisan yang luar biasa. Di antara karya tulisannya ialah kitab al-Mustadrak dan Tarikh Naisabur. Beliau meninggal dunia pada tahun 405 Hijriah.

Ibnu Hibban, bergelar al-Hafiz dan al-'Allamah, julukannya adalah Abu Hatim, sedangkan nama aslinya adalah Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad al-Busti. Beliau adalah salah seorang ahli fiqh terkemuka dan memiliki hafalan hadis yang kuat dan mengajar fiqah di Samarqand. Imam al-Hakim mengambil hadis darinya. Imam al-Hakim mengatakan bahwa Ibn Hibban adalah lautan ilmu fiqh, berwibawa dalam menyampaikan khutbah, pakar bahasa dan seorang ulama yang berkarisma. Beliau meninggal dunia pada tahun 354 Hijriah dalam usia 80 tahun.

___________

ه وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ". أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَلِلْبُخَارِيِّ: لَا يَبُولُنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ". وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ، وَلِأَبِي دَاوُد: "وَلاَ يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ".

5. Dari Abu Hurairah (r.a) bahwa Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda: "Janganlah seseorang dari kamu mandi di dalam air yang tergenang, sedangkan dia dalam keadaan berjunub." (Disebut oleh Muslim)

Lafaz yang dikemukakan oleh Imam al-Bukhari seperti berikut: "Jangan sekali-kali seseorang di antara kamu kencing di dalam air yang tidak mengalir, kemudian mandi di dalam air itu." Sedangkan menurut riwayat Muslim disebutkan “minhu” yang ertinya “kemudian ia mandi dari air itu.” Riwayat yang dikemukakan oleh Abu Dawud seperti berikut: "Dan janganlah seseorang mandi junub di dalamnya (di dalam air yang tidak mengalir).”

Makna Hadis

Hadis ini merupakan salah satu asas yang membahaskan tentang masalah bersuci yang dianjurkan oleh syariat Islam. Melalui hadis ini Rasulullah (s.a.w) melarang orang yang berjunub mandi di dalam air yang tergenang dan tidak mengalir, sebab dengan kerap mandi di dalamnya dikhuatiri akan mengakibatkan air menjadi berubah. Tujuan utama larangan ini ialah menjauhkan diri dari perkara-perkara kotor ketika bertaqarrub (ibadah mendekatkan diri) kepada Allah.

Hadis ini mengandungi larangan kencing sekali gus mandi di dalam air yang tidak mengalir. Adapun larangan kencing di dalam air yang tergenang maka ini disimpulkan dari riwayat yang diketengahkan oleh Imam Muslim. Riwayat Muslim mengatakan bahwa Nabi (s.a.w) melarang kencing dan mandi di dalam air yang tergenang, apabila orang yang bersangkutan dalam keadaan berjunub. Larangan ini menunjukkan hukum makruh bagi air yang banyak, dan haram bagi air yang jumlahnya sedikit.

Analisa lafadz

الماء الدائم air yang tidak mengalir, yaitu air yang tergenang.
جنب orang yang berjunub jinabah atau hadas besar. Perkataan junub digunakan untuk bentuk mufrad dan jamak dengan lafaz yang sama.
ثم يغتسل فيه Lafadz "يغتسل" dibaca rafa karena berkedudukan sebagai khabar lafaz kepada mubtada' yang tidak disebutkan. Bentuk lengkapnya ialah "ثم هو يغتسل فيه", sedangkan jumlah "ثم هو يغتسل" berkedudukan sebagai illat (penyebab) larangan. Makna yang dimaksudkan ialah “Jangan sekali-kali seseorang dari kamu kencing di dalam air yang tergenang, kemudian mandi di dalamnya atau berwuduk dengannya. Lafaz "ثم" menunjukkan pengertian istib'ad (mustahil), seakan-akan dikatakan: "Bagaimana mungkin seseorang itu tergamak kencing di dalam air yang tergenang, sedangkan dia sendiri memerlukannya untuk mandi atau keperluan yang lain?" Kalimat ini menunjukkan pengertian bahwa tidak boleh mandi di dalam air tersebut dengan menceburkan diri, umpamanya.
ولمسلم منه sedangkan menurut riwayat Muslim disebutkan "منه", bukan "فيه" yang artinya "Jangan sekali-kali seseorang dari kamu kencing di dalam air yang tidak mengalir, lalu dia mandi dengan memakai air itu (yang dia kencing di dalamnya)." Riwayat Muslim ini menunjukkan pengertian bahwa seseorang tidak boleh mengambil air itu lalu mandi di luarnya.
ولا يغتسل dibaca rafa' tetapi meskipun bentuknya nafi, namun maknanya adalah nahi (larangan). Ungkapan ini lebih tepat. Maksud hadis ini ialah "Seandainya air tersebut mengalir, maka tidak dilarang kencing di dalamnya namun apa yang lebih diutamakan ialah tidak melakukan perbuatan itu sekalipun airnya tetap mengalir."

Unsur Fiqih

  1. Orang yang berjunub dilarang mandi di dalam air yang tergenang (tidak mengalir).
  2. Air yang tergenang tidak najis karena orang yang berjunub mandi di dalamnya, sebaliknya ia hanya menghapuskan sifat menyucikannya. Jadi, airnya masih boleh digunakan untuk keperluan lain kecuali untuk menghilangkan hadas dan menghilangkan najis.
  3. Dilarang kencing di dalam air yang tergenang, sebab itu akan menyebabkan air menjadi tercemar.
  4. Hadis ini membuktikan bahwa air kencing itu najis.
__________________________

٦- عَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتُسِلُ الْمَرْأةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ، أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ، وَلْيَغْتَرِفًا جَمِيعًا". أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ.

6. Dari seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi (s.a.w) bahwa Rasulullah (s.a.w) telah melarang seorang wanita mandi dari air bekas lebihan suami atau seorang suami mandi dari air bekas lebihan isteri, melainkan hendaklah ke- duanya mengambil airnya masing-masing." (Disebut oleh Imam Abu Dawud dan Imam al-Nasa'i. Isnad hadis ini sahih).

Makna Hadis

Hadis ini mengandung pengertian bahwa ketika bersuci dari junub, suami dan isteri dilarang menggunakan bekas lebihan air masing-masing dan keduanya boleh melakukan bersuci dari satu wadah dalam waktu yang bersamaan.

Analisa Lafadz

رجل صحب النبي seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi (s.a.w). Namanya tidak disebutkan, namun ini tidak menjadi salah karena setiap sahabat Nabi (s.a.w) adalah adil.
بفضل الرجل dari air bekas lebihan suami
بفضل المرأة dari air bekas lebihan istri
وليغترفا جميعا al-ightiraf artinya mengambil air dengan tangan atau gayung. Huruf waw menunjukkan makna athaf yang dikaitkan dengan larangan, sedangkan ma'thuf-nya tidak disebutkan. Bentuk lengkapnya ialah: “Dan Nabi (s.a.w) bersabda: 'Hendaklah keduanya mengambil airnya masing-masing.” Huruf lam yang terdapat pada lafaz “وليغترفا” menunjukkan makna perintah.

Fiqih Hadis

  1. Seorang istri dilarang mandi dengan air bekas mandi suaminya.
  2. Suami pun dilarang mandi dengan air bekas mandi istrinya.
  3. Suami dan istri boleh mandi dari satu wadah dengan memakai alat mandinya masing-masing.
  4. Larangan dalam hadis ini menunjukkan makna tanzih (makruh).

___________

 7 - عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: "أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَلِأَصْحَابِ السُّنَنِ: "اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ، فَجَاءَ يَغْتَسِلُ مِنْهَا، فَقَالَتْ: إِنِّي كُنْت جُنُبًا، فَقَالَ: إِنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ". وَصَحَّحَهُ التَّرْمِذِيُّ، وَابْنُ خُزَيْمَةَ.

7. Daripada Ibn 'Abbas (r.a) bahawa Nabi (s.a.w) sering mandi dari air lebihan bekas Maimunah. (Disebut oleh Muslim) Riwayat yang dikemukakan oleh Ashab al- Sunan disebutkan: "Salah seorang isteri Nabi (s.a.w) mandi dari air yang ada di sebuah bejana, lalu Nabi (s.a.w) datang kemudian baginda mandi dari air bejana itu. Isteri Nabi (s.a.w) yang baru sahaja selesai mandi berkata: “Sesungguhnya aku baru mandi junub." Mendengar itu, Nabi (s.a.w) menjawab: “Sesungguhnya air itu tidak najis.” (Hadis ini dinilai sahih oleh al-Tirmizi dan Ibn Khuzaimah )

Makna Hadis

Hadis ini mengandungi makna bahawa seorang lelaki dibolehkan bersuci dari sisa air yang telah digunakan oleh isterinya. Selagi seorang lelaki dibolehkan bersuci dari sisa air lebihan isterinya, maka secara qiyas seorang wanita juga dibolehkan pula bersuci dari air lebihan suaminya. Dalam dua keadaan tersebut, hukum air lebihan itu adalah suci lagi menyucikan, sebab air tersebut tidak najis. Oleh itu, Nabi (s.a.w) bersabda kepada isterinya: "Sesungguhnya air ini tidak najis," untuk menetapkan dan mengukuhkan hukum kesucian air tersebut. Ini antara kemudahan agama Islam dan betapa mudah hukum-hakamnya untuk diamalkan.

Analisa lafadz

بفضل ميمونة dengan air sisa mandi Maimunah. Maimunah binti al-Harits al- Hilaliyah. Nama aslinya ialah Barrah, lalu Rasulullah (s.a.w) mengganti namanya menjadi Maimunah. Beliau adalah makcik 'Abdullah ibn 'Abbas, dikahwini oleh Nabi (s.a.w) pada tahun ke-7 Hijriah. Sesudah perkahwinannya dengan Maimunah, Nabi (s.a.w) tidak berkahwin lagi. Ibn 'Abbas, Yazid ibn al-'Asham dan sejumlah sahabat yang lain telah mengambil riwayat daripadanya. Beliau meninggal dunia pada tahun 51 Hijriah di Lembah Saraf.
جفنة bejana besar, bentuk jamaknya ialah jifaan dan jifanaat. Lafaz ini ber- ta'alluq (berkaitan) dengan lafaz yang tidak disebutkan yang berkedudukan sebagai haal (kata keterangan keadaan) kepada fa'il lafaz "اغتسل". Bentuk lengkapnya ialah: "Dengan memasukkan tangannya ke dalam bejana itu untuk mengambil air." Dengan kata lain, Siti Maimunah mandi dari bejana itu dengan menggunakan tangannya sebagai alat untuk mengambilnya.
ولأصحاب السنن yaitu Abu Dawud, al-Nasa'i, al-Tirmizi, dan Ibn Majah.
اني كنت جنبا sesungguhnya aku baru mandi junub. Junub ialah orang yang diwajibkan mandi besar karena bersetubuh atau mengeluarkan air mani. Konteks kalimatnya menunjukkan bahwa Maimunah baru saja mandi dari air bejana itu.
لا يجنب tidak najis.

Fiqh Hadis

  1. Lelaki dibolehkan mandi dari sisa air yang telah diguna pakai oleh isterinya. Kemudian diqiyaskan kepada perkara tersebut bahawa seorang wanita dibolehkan mandi dari sisa air yang telah diguna pakai oleh suaminya.
  2. Sisa air tersebut hukumnya suci lagi menyucikan, sebab airnya tidak najis. 3. Orang yang lebih utama dibolehkan memakai bekas orang yang berada di bawahnya dan adalah satu ketentuan hukum.
  3. Wajib mandi kerana junub.
___________________

۸- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ". أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَفِي لَفْظَ لَهُ: "فَلْيُرِقْهُ". وَلِلتَّرْمِذِي: "أَخْرَاهُنَّ، أَوْ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ".

8. Dari Abu Hurairah (r.a) bahwa Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda: "Cara menyucikan bejana seseorang di antara kamu apabila terkena jilatan anjing ialah hendaklah dia mencucinya sebanyak tujuh kali yang permulaannya mesti dicampur dengan tanah." (Disebut oleh Muslim). Menurut lafaz lain oleh Muslim: "Maka hendaklah dia membuang isinya." Menurut riwayat al-Tirmizi disebutkan: "Yang paling akhir sekali atau pada permulaannya hendaklah di- campur dengan tanah."

Makna Hadis

Rasulullah (s.a.w) banyak memiliki mukjizat dan ini merupakan salah satu mukjizatnya. Ilmu perubatan modern telah membuktikan bahwa dalam ludah anjing terdapat bakteri-bakteri yang tidak dapat dimatikan melainkan hanya dengan tanah yang dicampur dengan air. Oleh itu, syariat yang bijaksana menyuruh supaya membuang air yang telah diminum anjing, kemudian membasuh wadahnya sebanyak tujuh kali basuhan yang salah satu di antaranya dicampur dengan tanah.

Analisa Lafadz

طهور إناء أحدكم cara menyucikan bejana milik seseorang di antara kamu. Lafaz ini berkedudukan sebagai mubtada‟, sedangkan khabar-nya ialah lafaz "أن يغسله". Huruf "أن" adalah masdariyah hingga fi'il sesudahnya bermakna masdar, yaitu menjadi "الغسل" Maksudnya, cara menyucikan bejana milik seseorang di antara kamu apabila terkena jilatan anjing hendaklah dibasuh sebanyak tujuh kali basuhan.
إذا ولغ apabila anjing memasukkan lidahnya ke dalam bejana itu, lalu menggerak-gerakkannya untuk meminum air yang ada di dalamnya. Pengertian kata syarat yang diungkapkan dengan lafadz "إذا" memberikan pengertian qasr (pembatasan) hukum hanya dengan apa yang disebutkan olehnya.
أن يغسله سبع مرات hendaklah dia membasuhnya sebanyak tujuh kali basuhan. Penyebab atau 'illat wajib membasuh tujuh kali ialah kerana najis anjing yangdikategorikan sebagai najis mughallazhah atau najis berat. Sedangkan menurut ulama lain, 'illat yang mewajibkan ini hanyalah bersifat ta'abbudiyyah semata.
أولاهن بالتراب basuhan pertama dicampur dengan tanah. Kalimat ini berkedudukan sebagai sifat kepada lafaz "سبع مرات" َdalam kedudukan nasab. Sedangkan huruf ba' pada lafaz "بالتراب" menunjukkan makna mushahabah, maksudnya ialah basuhan yang pertama disertai dengan tanah.
فليرقه hendaklah dia menumpahkan airnya ke tanah, yakni membuangnya.

Unsur Fikih

  1. Mulut anjing adalah najis, iaitu najis mughalazhah (najis berat). Semua anggota tubuhnya disamakan pula dengan mulutnya, menurut pendapat jumhur ulama. Sedangkan Imam Malik mengatakan bahawa anjing itu suci, membasuh bekas jilatannya sebanyak tujuh kali basuhan hanyalah merupakan perkara ta'abbudiyyah belaka. Menurutnya lagi, masalah mencampurkan salah satu basuhan dengan tanah adalah tidak betul. Mencampurkan air dengan tanah ketika membasuh bekas yang terkena jilat anjing disebut istilah al-tatrib.
  2. Wajib membasuh bejana yang dijilat anjing sebanyak tujuh kali basuhan, salah satu di antaranya dicampur dengan tanah. Wajib membuang air yang diminum oleh anjing.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url