nderekngaji.com - Dalam sebuah sistem kepemimpinan yang ideal, kriteria utama dalam memilih seorang pemimpin seharusnya adalah kemampuan dan integritas, bukan sekadar keturunan, kekayaan, atau kedekatan dengan penguasa. Prinsip ini dikenal dengan istilah meritokrasi, yaitu sistem yang menempatkan seseorang dalam posisi tertentu berdasarkan prestasi dan kapabilitasnya. Ajaran Islam, sebagaimana tercermin dalam Alquran, menggarisbawahi pentingnya meritokrasi dalam urusan memilih pemimpin dan menjalankan tanggung jawab kepemimpinan.

Kepemimpinan Berdasarkan Kapasitas dan Keahlian

Alquran mengajarkan bahwa amanah kepemimpinan seharusnya diberikan kepada mereka yang memiliki kecakapan dan keahlian yang memadai. Salah satu contoh yang diangkat dalam Alquran adalah kisah Nabi Yusuf a.s., yang secara tegas menawarkan dirinya untuk mengelola perbendaharaan negara Mesir karena keahliannya dalam menjaga dan mengelola sumber daya.

قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ ۝٥٥

"Yusuf berkata: 'Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.'" (Q.S. Yusuf: 55)

Dalam Tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa pemilihan pemimpin seharusnya mengutamakan kemampuan dan kejujuran. Nabi Yusuf tidak sekadar meminta jabatan, melainkan menawarkan diri untuk suatu bidang yang sesuai dengan keahliannya, yaitu perbendaharaan. Ia menegaskan bahwa permintaan Yusuf ini tidak bertentangan dengan larangan Islam terhadap permintaan jabatan, sebab didasarkan atas kesadaran diri akan kapasitas yang dimilikinya.

Lebih lanjut, Quraish Shihab menambahkan bahwa Nabi Yusuf tidak menerima sembarang tugas yang mungkin ditawarkan oleh Raja, melainkan secara spesifik memilih bidang yang sesuai dengan keahliannya. Ini mencerminkan prinsip penting dalam Islam bahwa seseorang hanya seharusnya menerima amanah dalam bidang yang benar-benar mampu ia jalankan dengan baik.

"Kemungkinan besar, Yusuf a.s. terlebih dahulu mendapat tawaran untuk membantu dalam berbagai urusan, namun beliau secara selektif memilih tugas tertentu, yakni mengelola perbendaharaan negara." (Tafsir Al-Mishbah, 6:485)

Kepemimpinan sebagai Amanah, Bukan Privilege

Islam memandang bahwa kepemimpinan adalah amanah besar, bukan hak istimewa yang diwariskan atau diperoleh melalui koneksi. Allah Swt. berfirman dalam Alquran:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِۗ

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil." (Q.S. An-Nisa: 58)

Ayat ini mengajarkan bahwa dalam menentukan seseorang untuk menduduki suatu jabatan, keadilan dan kelayakan harus menjadi pertimbangan utama. Memberikan jabatan kepada yang tidak kompeten hanya akan membawa kerusakan pada masyarakat.

Dalam tafsirnya, Quraish Shihab menegaskan bahwa amanah tidak hanya berupa titipan fisik, melainkan juga meliputi kepercayaan dan tanggung jawab dalam berbagai aspek kehidupan. Ia menyatakan:

"Amanah adalah sesuatu yang dipercayakan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan saat diminta, lawan dari pengkhianatan." (Tafsir Al-Mishbah, 2:480)

Beliau juga menekankan bahwa amanah dan keadilan harus ditegakkan tanpa diskriminasi atas dasar agama, suku, atau ras.

Dampak Positif Penerapan Meritokrasi

Penerapan sistem meritokrasi dalam kepemimpinan membawa berbagai dampak positif. Kepemimpinan yang dijalankan oleh orang-orang kompeten dan berintegritas akan menghasilkan keputusan yang lebih tepat, pengelolaan sumber daya yang bijaksana, serta kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat.

Dengan meritokrasi, praktik korupsi dan nepotisme dapat ditekan, sehingga kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga pemerintahan maupun organisasi akan meningkat. Stabilitas sosial pun terjaga, karena masyarakat merasa dipimpin secara adil dan profesional.

Alquran secara jelas menegaskan bahwa jabatan kepemimpinan harus diberikan berdasarkan merit, bukan hubungan kekerabatan, kekayaan, atau kedekatan dengan penguasa. Dalam setiap tingkatan kepemimpinan, umat Islam diajak untuk berpegang pada prinsip-prinsip ini, agar keberkahan dan manfaat dari kepemimpinan dapat dirasakan oleh semua pihak.