Tanggung Jawab dan Tantangan dalam Profesi Hakim Menurut Ajaran Islam


Menjadi seorang hakim bukanlah tugas yang mudah, karena setiap keputusan yang diambil memikul tanggung jawab besar. Oleh karena itu, terdapat kriteria dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai status sebagai hakim. Rasulullah saw menggambarkan tiga jenis hakim dalam hadits berikut:

القُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: قَاضِيَانِ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ فِي الجَنَّةِ، رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ لَا يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ قَضَى بِالحَقِّ فَذَلِكَ فِي الجَنَّةِ

Artinya: "Hakim itu ada tiga: dua di neraka dan satu di surga. Hakim yang memutuskan hukum dengan tidak benar, sedangkan ia mengetahuinya, maka ia di neraka. Hakim yang tidak mengetahui kebenaran (jahil), sehingga ia menghilangkan hak orang lain, maka ia pun di neraka. Hakim yang memutuskan hukum dengan kebenaran, maka ia di surga." (HR. At-Tirmidzi).

Al-Munawi menjelaskan bahwa hadits tersebut memberikan peringatan kepada para hakim untuk bersikap adil, bekerja dengan maksimal, dan berusaha mencapai kesempurnaan dalam memutuskan perkara [1]

Adz-Dzahabi menambahkan bahwa orang yang memutuskan suatu perkara tanpa pemahaman yang memadai, bahkan tanpa pengetahuan ilmiah, termasuk dalam ancaman hadits tersebut[2]

Rasulullah saw memberikan peringatan serius kepada umatnya yang menjadi hakim, menyatakan bahwa profesi tersebut bukanlah hal yang sepele. Beliau menggambarkan bahwa menjadi hakim seperti dibunuh tanpa menggunakan pisau:

مَنْ وَلِيَ الْقَضَاءَ أَوْ جُعِلَ قَاضِيًا بَيْنَ النَّاسِ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ

Artinya: "Siapapun yang diberi jabatan hakim atau diberi kewenangan untuk memutuskan hukum di antara manusia, sungguh ia telah dibunuh tanpa menggunakan pisau." (HR At-Tirmidzi).

Al-Munawi menjelaskan bahwa menerima kewenangan sebagai hakim berarti menyiksa diri sendiri dengan kesulitan-kesulitan dalam birokrasi pemerintahan[3]

Al-Muzhir menyatakan bahwa bahaya menjadi hakim besar, karena jiwa yang cenderung pada cinta kekuasaan dan jabatan dapat terjerumus dalam perilaku suap-menyuap, suatu penyakit yang sulit disembuhkan[4]

Seorang hakim juga harus bersifat adil dan tidak diskriminatif, sehingga putusannya terhadap orang yang memiliki jabatan, kekayaan, atau terpandang tidak berbeda dengan orang biasa. Nabi saw melarang hakim membedakan hukum berdasarkan hubungan keluarga:

فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Artinya: "Wahai sekalian manusia, hanya saja yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, ketika orang-orang terpandang mereka mencuri, mereka membiarkannya, sementara jika orang-orang berpangkat rendah dari mereka mencuri, mereka menegakkan hukuman had. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya." (HR Muslim).

Meskipun beberapa hadits Nabi saw menunjukkan ancaman terhadap hakim yang tidak berlaku adil, dan menyarankan agar orang-orang tidak mengambil profesi hakim, terdapat juga ganjaran bagi hakim yang adil, yaitu pahala dan surga.

Dalam hadits disebutkan bahwa hakim yang berusaha untuk adil meskipun keliru dalam keputusannya, tetap mendapat satu pahala karena usahanya. Sedangkan jika keputusannya benar, ia mendapat dua pahala:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

Artinya: "Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad dan ternyata ia benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim mengadili dan berijtihad kemudian ia salah, maka baginya satu pahala." (HR Al-Bukhari).

Namun, hakim yang salah hanya mendapatkan ganjaran atas usahanya dalam mengejar kebenaran, karena ijtihad merupakan bentuk ibadah. Kesalahan yang dibuatnya tidak mendapat pahala, tetapi dosa akibat putusan salah tersebut dihapuskan. Ini berlaku untuk hakim yang memahami seluruh aspek ilmiah dan berijtihad dengan benar[5]

Al-Mundzir menyatakan bahwa tidak semua hakim yang keliru mendapatkan ganjaran. Hakim yang mendapat ganjaran adalah yang memiliki pengetahuan, memahami dengan baik perkara yang dihadapi, dan berusaha untuk memberikan keputusan yang benar[6]

Seorang hakim yang adil juga akan mendapatkan kenaikan derajatnya. Rasulullah saw menyatakan:

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ

Artinya: "Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya." (HR Muslim).

Qadhi 'Iyadh menjelaskan bahwa makna "di atas mimbar" dalam hadits tersebut dapat berarti hakikat, yaitu derajatnya di dunia ditingkatkan karena keadilannya. Atau mungkin maknanya bersifat kiasan, yaitu derajatnya akan ditingkatkan di akhirat[7]

Wallahu a'lam.

Baca juga : Keselarasan hakikat dan syariat

[1] Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Mesir: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1356], jilid IV, hal. 538

[2] Teks asli : فكل من قضى بغير علم ولا بينة من الله ورسوله على ما يقضي به فهو داخل في هذا الوعيد

Al-Munawi, Faydhul Qadir, jilid XIII, hal. 15

[3] Al-Munawi, Faydhul Qadir, jilid VI, hal. 238

[4] Al-Munawi, Faydhul Qadir, jilid VI, hal. 238

[5] Khalil Ahmad, Badzlul Majhud fi Halli Sunan Abi Dawud, [India: Markaz lil Buhuts, 2006], jilid XI, hal. 302

[6] Badruddin al-'Aini, 'Umdatul Qari, jilid. XXV, hal. 66

[7] An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, jilid XII, halaman 211


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url